50 Tahun Tidak Dipentaskan, Sang Hyang Jaran ‘Tedun’ dengan Kilatan Petir

Sudah 50 tahun tarian sakral Sang Hyang Jaran tidak dipentaskan di Pura Penataran Sasih, Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, Bali.

Penulis: I Putu Darmendra | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
Istimewa
Sesolahan Sang Hyang Jaran di Pura Penataran Sasih, Pejeng, Gianyar, Senin (22/2/2016) malam. 

TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Sudah 50 tahun tarian sakral Sang Hyang Jaran tidak dipentaskan di Pura Penataran Sasih, Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, Bali.

Tepat malam puncak karya, Senin (22/2/2016), tarian ini pun dipentaskan lagi.

Ritual nedunan Sang Hyang Jaran ini digelar serangkaian Karya Panca Wali Krama di Pura Penataran Sasih.

"Sebelumnya kami sudah menggelar paruman dengan pemuka desa terkait rencana nedunan Sang Hyang Jaran. Kita juga bahas bagaiman persiapan gerong dan tarian cak," kata Bendesa Pekraman Jero Kuta Pejeng, Cok Gde Putra Pemayun, Selasa (23/2/2016).

Masyarakat pun penasaran menyaksikan pementasan tari sakral ini.

Keramaian pemedek sudah terlihat menjelang petang.

Malam itu, pura benar-benar sesak oleh lautan manusia.

Hari kian larut, sekira pukul 21.00 Wita, sejumlah jero mangku melangsungkan prosesi nyanjan.

Suasana berubah hening seketika.

Banten dihaturkan di hadapan Pelinggih Sang Hyang Jaran.

Mantram para pemangku mengalun merdu memohon kebersedian Sang Hyang Jaran untuk tedun mesolah.

Krama pun tampak khusyuk. Penembang gerong (lagu permohonan) yang dibawakan para ibu-ibu PKK serta cak karang taruna setempat sudah bersiap.

Sekitar setengah jam berlalu, di saat suasana kian magis, tanda-tanda pun muncul.

Angin mendesir pelan berembus di utama mandala.

Wastra, kober, tadung kainnya diterpa. Sesaat kemudian kilatan petir menyambar di angkasa.

Kejadian itu sangat dipercaya menjadi penanda tedunnya Sang Hyang Jaran.

Di halaman pura, batok kelapa kering dibakar warnanya merah membara.

Asapnya mengepul. Satu pemedek sontak berteriak histeris hilang kesadaran.

Kekuatan gaib seakan merasuk ke dalam tubuhnya.

Ia yang kerauhan langsung dipapah menuju bara api batok kelapa.

Sebuah kuda-kudaan berbahan kayu behias janur lalu diambilnya.

Pemedek ini menarikan tarian kuda. Dia juga menginjak bara api.

Vibrasi magis menyebar hingga kemudian membuat delapan pemedek lainnya kerauhan.

Ini saat dimana Sang Hyang Jaran mesolah untuk pertama kalinya terhitung setelah 50 tahun yang lalu.

Ribuan mata krama memandang penuh takjub.     

Lama dinanti akhirnya ritual sakral ini kembali dapat mereka saksikan.

Utama mandala benar-benar sesak dipenuhi lautan manusia.

Bahkan sebagian pemedek harus rela tidak bisa menyaksikan ritual magis tersebut.

Sembilan pemedek yang kerauhan terus menari di atas tumpukan bara api batok kelapa.

Percikannya terbang ditendang. Suasana magis begitu terasa sekitar hampir dua jam lamanya.

Lantunan tembang gerong dan kecak membuat para penari Sang Hyang Jaran mengganas.

Tak henti-henti mereka menari sembari menginjak dan menendang bara api.

Menjelang dua jam, satu persatu pemedek yang kerauhan mulai sadarkan diri.

Tirta pengelukatan dipercikkan.

Sesolahan Sang Hyang Jaran pun usai sudah.

Anehnya, pasca menginjak bara api, tak satupun mengalami luka.

Pakaian mereka hanya sedikit kotor karena arang.

Api tidak mampu membakarnya.

Setelah sadar, sembilan pemedek yang kerauhan diwajibkan untuk ngayah setiap hari selama piodalan di Pura Penataran Sasih.

Cok Gde Putra Pemayun berharap krama Pejeng mulai saat ini tetap ajeg melestarikan tarian sakral tersebut.

Ini semata demi mempertahankan warisan leluhur yang adiluhung.

"Kita harap tarian sakral ini tetap dilestarikan di Pejeng," cetusnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved