Dilema Pariwisata Di Lovina, Ketika Bangunan Dan Penginapan Melunturkan Alaminya Pantai
Ada pula yang dimiliki Warga Negara Asing (WNA) yang kemudian diatasnamakan kepada orang lokal.
Penulis: Lugas Wicaksono | Editor: Eviera Paramita Sandi
Dari sekian banyak vila ilegal itu, sebagian dibangun di bibir pantai. Padahal sesuai peraturan, 100 meter dari air pasang tertinggi harus bebas dari bangunan. “Saya tidak mau menyalahkan siapa-siapa, jalan dari sini, lima meter dari bibir pantai sudah ada vila,” katanya.
Keberadaan vila di pinggir pantai juga menyebabkan pantai mengalami abrasi. Sebab tidak jarang pemilik vila memasang pemecah gelombang untuk mencegah abrasi di pantai depan vilanya, tetapi abrasi akan terjadi di sekitarnya karena gelombang yang menghantam akan lebih keras.
Ia meminta kepada pemerintah agar lebih tegas untuk menegakkan peraturan untuk memberikan efek jera bagi pelanggar.
Jika pemilik sarana akomodasi yang melanggar peraturan dibiarkan saja, maka Lovina kedepannya akan semakin kacau dan ditinggalkan wisatawan.
“Ada tiga komponen untuk menjaga Lovina, pemerintah, masyarakat, pelaku wisata. Pemerintah sebagai regulator harus tegas dalam penegakan hukum karena kesadaran ini harus dipaksakan,” ujarnya.
Di Desa Kalibukbuk, sedikitnya ada sebanyak 125 hotel maupun vila yang beroperasi dengan memiliki izin. Namun di luar itu diperkirakan masih banyak yang belum terdaftar. (*)
