Dilema Pariwisata Di Lovina, Ketika Bangunan Dan Penginapan Melunturkan Alaminya Pantai

Ada pula yang dimiliki Warga Negara Asing (WNA) yang kemudian diatasnamakan kepada orang lokal.

Penulis: Lugas Wicaksono | Editor: Eviera Paramita Sandi
kontan.co.id
Ilustrasi villa 

TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Sarana akomodasi pariwisata di kawasan wisata Lovina berupa vila disebut banyak yang masih belum berizin atau ilegal.

Namun keberadaan vila-vila ilegal ini terkesan dibiarkan begitu saja tanpa ada penindakan dari petugas yang bertanggungjawab.

Vila-vila itu tersebar di enam desa yang termasuk di kawasan wisata Lovina.

Desa-desa itu di antaranya Pemaron, Tukadmungga, Anturan, Kalibukbuk, Temukus dan Kaliasem. Sebagian dari pemilik vila ini adalah orang di luar desa.

Ada pula yang dimiliki Warga Negara Asing (WNA) yang kemudian diatasnamakan kepada orang lokal.

Kelian Desa Pakraman Kalibukbuk, Gede Subrata mengatakan, kini di desanya sudah semakin banyak vila yang berdiri tetapi tidak ada izin sebagai akomodasi pariwisata.

Para pemilik vila setiap kali dikonfirmasi jika bangunan itu bukan vila tetapi rumah pribadi.

Jika ada wisatawan yang menginap, pemilik berdalih tamu yang menginap bukanlah wisatawan, tetapi anggota keluarga pemilik.

“Banyak juga vila-vila yang masih belum berizin di sini. Kita datangi mereka, bilangnya rumah sendiri, ditanya yang datang siapa katanya saudara-saudaranya sendiri saja, kita mau lebih tegas gak bisa juga karena bukan kewenangan kita untuk menindak,” ujar Kelian Desa Pakraman Kalibukbuk, Gede Subrata.

Sementara itu, seorang penggiat pariwisata Lovina, Nyoman Suwela mengatakan, pembangunan sarana akomodasi pariwisata di Lovina kini semakin berkembang pesat.

Bahkan tidak sedikit yang mengabaikan peraturan, lokasi yang tidak seharusnya dibangun vila atau hotel, justru penuh sesak oleh bangunan-bangunan.

“Selalu ada kecenderungan, satu bikin hotel semua bikin hotel, meskipun lokasinya salah dan tidak tahu manajemen hotel, orang bikin hotel karena punya duit. Dia tidak belajar apa yang dicari di sini, makanya pariwsata itu cenderung menghancurkan dirinya sendiri. Ditanya apa yang menarik di sini, pantai, orang akhirnya juga bikin hotel di pantai,” tuturnya.

Padahal wisatawan berkunjung ke Lovina untuk mencari keindahan panorama pantai yang masih natural atau atraksi lumba-lumba di laut lepas.

Namun keasrian dan kenyamanan itu justru kini semakin sulit ditemukan wisatawan karena banyaknya bangunan.

“Orang datang kesini yang dicari kan karena sepi, tapi sekarang dilema. Banyak tamu kesini banyak ada home stay, berkembang, vila, hotel karena ada permintaan. Ada aspek negatifnya,” katanya.

Dari sekian banyak vila ilegal itu, sebagian dibangun di bibir pantai. Padahal sesuai peraturan, 100 meter dari air pasang tertinggi harus bebas dari bangunan. “Saya tidak mau menyalahkan siapa-siapa, jalan dari sini, lima meter dari bibir pantai sudah ada vila,” katanya.

Keberadaan vila di pinggir pantai juga menyebabkan pantai mengalami abrasi. Sebab tidak jarang pemilik vila memasang pemecah gelombang untuk mencegah abrasi di pantai depan vilanya, tetapi abrasi akan terjadi di sekitarnya karena gelombang yang menghantam akan lebih keras.

Ia meminta kepada pemerintah agar lebih tegas untuk menegakkan peraturan untuk memberikan efek jera bagi pelanggar.

Jika pemilik sarana akomodasi yang melanggar peraturan dibiarkan saja, maka Lovina kedepannya akan semakin kacau dan ditinggalkan wisatawan.

“Ada tiga komponen untuk menjaga Lovina, pemerintah, masyarakat, pelaku wisata. Pemerintah sebagai regulator harus tegas dalam penegakan hukum karena kesadaran ini harus dipaksakan,” ujarnya.

Di Desa Kalibukbuk, sedikitnya ada sebanyak 125 hotel maupun vila yang beroperasi dengan memiliki izin. Namun di luar itu diperkirakan masih banyak yang belum terdaftar. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved