Bangke Matah Dikubur di Klungkung Bali

Kisah Dewa Aji Tapakan Perankan Bangke Matah di Banjar Adat Getakan Sejak 11 Tahun Yang Lalu

Sucana mengakui ada kekhawatiran dari dirinya maupun krama Banjar Adat Getakan menjelang pelaksanaan pertunjukan Calonarang ke-11 kalinya tersebut

Penulis: Eka Mita Suputra | Editor: Eviera Paramita Sandi
Tribun Bali/Eka Mita Suputra
Suasana persiapan ritual Calonarang “Watangan Mependem” di Banjar Adat Getakan, Banjarangkan, Klungkung, Selasa (11/10/2015). 

“Yang namanya watangan dikubur secara logika dan secara sekala tidak masuk akal. Karena yang menjadi watangan ini statusnya masih hidup dan ia harus dikubur. Tentu ini sangat berisiko. Ketika pelaksanaan ritual tersebut, sedikit tidaknya watangan ini butuh oksigen. Kita di Bali punya hukum adat berdasarkan tradisi dan spiritual harus selaras dengan hukum positif nasional. Jika tidak ada koordinasi formal dan administrasi, kita bisa dituntut jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap pihak yang menjadi watangan saat pementasan Calonarang tersebut. Jadi kita lakukan koordinasi, walau secara formal  mereka (kejati maupun pihak Polsek Banjarangkan) melarang, dan tidak berani memberi izin,” jelas Sucana.

Melalui pembicaraan dan diskusi yang alot, dan melakukan beberapa kali pertemuan yang melibatkan pihak krama Banjar Getakan, dan Polsek Banjarangkan, disepakati jika Banjar Adat Getakan tetap akan melaksanakan ritual pertunjukan Calonarang dengan watangan atau bangke matah dipendam atau dikubur yang akan diperankan oleh Dewa Aji Tapakan.

Dengan catatan, pihak Banjar Adat Getakan harus membuat surat pernyataan dengan pihak Dewa Aji Tapakan beserta istrinya, Desak Tapakan.

Intinya pada surat pernyataan tersebut, disebutkan tidak akan keberatan dan tidak akan menuntut jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan saat pelaksanaan ritual Calonarang.

Selain itu, untuk keluarga besar Dewa Aji Tapakan juga dibuatkan surat perjanjian atas nama keluarga besar yang ditandatangani oleh  prajuru semeton.

“Yang bersangkutan dan istirnya telah melakukan cap jempol surat pernyataan tersebut. Jika pun ada hal yang tidak diinginkan terhadap watangan yang dikubur tersebut, contohnya seda (meninggal), kita dari banjar adat akan bertanggung jawab. Mulai dari prosesi kematian sampai pelebon, semua prosesi dan biayanya akan ditanggung banjar adat Getakan. Setidaknya, dengan pihak Kapolsek Banjarangkan kita sudah lakukan pertemuan sebanyak empat kali untuk membahas hal ini,” jelasnya.

Kapolsek Banjarangkan AKP Ni Luh Wirati ketika dikonfirmasi, kemarin, mengatakan hal serupa.

Pihaknya sudah menyarankan kepada Banjar Adat untuk membuat surat pernyataan dengan pihak yang akan ngayah menjadi watangan .

“Kita sudah beberapa kali lakukan pertemuan dengan pihak terkait, Karena sudah keputusan adat, kita tidak bisa melarang. Namun, kita sarankan untuk membuat pihak-pihak yang terlibat harus membuat surat pernyataan,” jelasnya ketika dihubungi melalui sambungan telepon.

Persiapan untuk pelaksanaan ritual ini pun telah dilakukan krama Banjar Adat Getakan sejak Kamis (29/9/2016) lalu.

Perempatan banjar Adat Getakan  yang akan menjadi lokasi pertunjukan Calonarang sudah dihias sedemikan rupa.

Tragtag setinggi 11 meter sudah dibuat dan tampak kokoh berdiri.

Di salah satu pojok Bale Banjar Getakan, tampak peti yang akan digunakan sebagai tempat bersemayamnya bangke matah juga sudah selesai dibuat.

Peti tersebut cukup besar yakni memiliki ukuran lebar 1,15 meter, panjang 2 meter, dan tinggi 1,2 meter.

Rangkaian upacara memasar dan memungel di Banjar Adat Getakan dimulai Selasa (11/10/2016) dengan diawali prosesi nedunan Petapakan Ratu Mas Bukit Jati, Ratu Mas Dalem Lingsir, Ratu Mas Klungkung, dan Petapakan Barong Ket yang sebelumnya distanakan di Pura Dalem Desa Pakraman Getakan.

Halaman
123
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved