Aura Magis Pura Kehen, Tempat Penyumpahan Pejabat Kerajaan, Tak Setia akan Kena Kutukan Ini

Dalam upacara tersebut bagi pejabat kerajaan yang tidak setia kepada kewajibannya akan kena "Sapata" atau kutukan yang sangat menyeramkan, seperti

Tribun Bali/Muhammad Fredey Mercury
Bale Kukul di Pura Kehen ada di pohon beringin 

Dikisahkan pada Tahun Caka 1126 atau tanggal 10 Mei 1204 Masehi, Raja Ida Bhatara Guru Sri Adikunthi Ketana memerintahkan semua penduduk di wilayah Desa Bangli untuk kembali ke desanya.

Pada saat itu, terjadi wabah penyakit yang membuat masyarakat Desa Bangli berbondong-bongong meninggalkan tempat tinggalnya, sehingga Desa Bangli menjadi kosong, tidak ada anak negeri menggelar yadnya, padahal yadnya wajib diselenggarakan.

Untuk itu Raja Bali ke-18 dalam masa Bali Kuno itu menitahkan kepada Sri Dhanadhirajalancana dengan permaisurinya, Paduka Bhatari Sri Dhanadewiketu, untuk memanggil serta memulangkan kembali tanayam thani karaman i Bangli (warga masyarakat Bangli).

Sebagai kompensasinya, Raja memberi bonus, membebaskan segala pungutan pajak apapun bentuknya, karena warga Bangli dijadikan Jataka (pakandel, penopang utama) di Lokasarana sebagai pusat wilayah Desa Bangli.

Menurut Ardana, nama Bangli sebagai karaman (desa) dan Pura Kehen, memang erat kaitannya.

Keduanya pun tertulis secara otentik pada prasasti Pura Kehen C.

Itu berarti, Bangli sebagai karaman memang sudah ada sejak zaman Bali Kuno.

“Karena nama karaman Bangli pertama kali disebutkan dalam prasasti Pura Kehen C, maka dari itu ditetapkanlah hari jadi Kota Bangli pada tanggal 10 Mei 1204, sesuai dengan tanggal penulisan prasasti tersebut,” ujar Ardana.

Fungsi Khusus

Berdasarkan isi prasasti Pura Kehen B dari tahun 1049 M, pada saat itu, ketika pemerintahan Raja Anak Wungsu, Pura Kehen memiliki fungsi khusus yaitu tempat suci yang dipergunakan sebagai tempat "Penyumpahan" bagi para pejabat kerajaan.

Dalam upacara tersebut bagi pejabat kerajaan yang tidak setia kepada kewajibannya akan kena "Sapata" atau kutukan yang sangat menyeramkan, seperti Hina, Papa, Hancur keluarga dan seketurunannya, selalu terbelit noda, sengsara dan malapetaka, tidak akan menemukan kebaikan apapun.

Dewa yang dipuja dalam upacara penyumpahan tersebut adalah Hyang Api atau Hyang Kehen yaitu Dewa Agni sebagai saksi dalam wujud sebagai Dewa Api.

Sehingga fungsi Pura Kehen sebagai tempat suci dalam upacara penyumpahan didukung oleh adanya sebuah bejana, yang dibelit empat ekor ular naga yang disebut "Bejana Sarpantaka".

Sampai saat ini bejana tersebut ditempatkan dalam sebuah bangunan berbentuk gedong yang terletak di sebelah timur dari meru tumpang 11 di jeroan.    

Bejana Sarpantaka pada saat dilaksanakan upacara penyumpahan berfungsi sebagai tempat "Tirta Sarpantaka" yaitu Air Suci Sumpah yang diberikan kepada mereka yang disumpah.

Halaman
123
Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved