Simpang Ring Banjar
Unik, Warga Desa Penglipuran yang Melakukan Poligami Atau Poliandri Ditempakan Khusus di Sini
Kecilnya nominal sanski menurut Wayan Supat untuk menumbuhkan efek malu.
Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
Seperti tata ruang desa yang masih menerapkan sistem kaja-kelod, bentuk rumah adat yang berapat sirat bambu, penataan pekarangan.
Begitu pun dengan pura yang ada di Bayung Gede, berapa jumlahnnya, dimana letaknya, apa namanya juga terdapat di penglipuran.
“Seperti contoh pura penataran (pura desa), seperti di Bayung Gede terletak di utara desa, begitupun dengan di Penglipuran, selain itu Pura puseh di sebelah timur, Pura dukuh di arah timur laut juga dibangun hal yang sama, walaupun dibangun lebih kecil, mengingat wilayah yang juga kecil. Ibaratnya Penglipuran merupakan minatur Desa Bayung Gede,” ucapnya.
Dikatakan pula, sebagai warga desa adat maupun warga negara, masyarakat Desa Penglipuran sadar untuk selalu bergotong royong menjaga kebersihan.
Hal ini terlihat di setiap sudut rumah sudah disediakan tempat sampah, sebab menurutnya, kebersihan bukan pekerjaan pemimpin atau segelintir orang saja.
"Kebersihan merupakan milik bersama untuk selalu dijaga," ujarnya.
Disamping itu, untuk mempertahankan kebersihan di desanya, Wayan Supat menuturkan jika di Desa Penglipuran juga terdapat peraturan-peraturan yang menjaga kebersihan tata ruang lingkungan.
Dan apabila terdapat masyarakat setempat yang melanggar akan diberikan sanksi. Untuk sanksi sendiri terdiri dari tiga macam.
Yakni sanksi berupa materi (arta danda), dikucilkan (jiwa danda), serta sanski berupa melakukan ritual (askara danda) yang mengaturkan panca sato di pura desa, pura puseh, pura dalem, dan pura prapatan (catus pata).
Dijelaskan, sanksi berupa materi seperti tidak mengikuti gotong royong yang dilakukan satu minggu sekali.
Sanksi materi pun nominalnya hanya Rp. 500.
Kecilnya nominal sanski menurut Wayan Supat untuk menumbuhkan efek malu.
Sedangkan sanksi berupa banten pecaruan, si pelanggar diwajibkan untuk menghaturkan sesajen berupa bakti pecaruan dengan jumlah ayam 1 unit pecaruan panca-sato (5 ekor ayam) di 4 pura, yaitu pura penataran, pura puseh, pura dalem, dan di catuspata.
"Setiap warga yang bersalah, dikenakan pecaruan di 4 unit tempat atau kahyangan, yaitu di puseh, dalem, penataran, dan di catuspata. Dan khusus untuk Desa Penglipuranbanten pecaruan menggunakan Panca-sata sesuai dengan unsur 5 arah mata angin, yaitu utara, timur, selatan, barat dan tengah," jelas Wayan Supat.

Sementara sanksi berupa dikucilkan (jiwa danda), dicontohkan dia saat seseorang melakukan poligami, maka dia akan ditempatkan di satu pekarangan khusus, yang disebut karang memadu.
Tujuan dari adanya karang memadu, bukan lantaran desa Penglipuran mengizinkan warganya untuk melakukan poligami, maupun poliandri.
Justru desa penglipuran mengharapkan warganya untuk tetap menghargai hubungan yang telah diikat dalam upacara sakral yang disebut pernikahan.
“Mereka yang ada di karang memadu juga tidak diperbolehkan untuk pergi ke pura,” ucapnya. (*)