Dharma Wacana
Fenomena `Mangku Lebih’ di Masyarakat, Setiap Orang Boleh Mewinten, Tapi Perhatikan Ini
Bahkan istilah yang lebih keras lagi ialah ‘mangku stres’ atau orang yang menjadi pemangku atas kehendaknya sendiri untuk menghindari suatu masalah.
Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Belakangan ini kerap kita saksikan fenomena adanya pemangku instan, yakni tetangga maupun krama desa pakraman tempat ia tinggal tidak mengetahui kapan dia mediksa dan didiksa sebagai jro mangku serta di pura apa.
Terhadap pemangku yang seperti itu, masyarakat kerap menjulukinya sebagai ‘mangku lebih’ atau pemangku yang tidak memiliki pura.
Bahkan istilah yang lebih keras lagi ialah ‘mangku stres’ atau orang yang menjadi pemangku atas kehendaknya sendiri untuk menghindari suatu masalah.
Sebenarnya, apa yang terjadi saat ini adalah akibat dari perubahan ideologis yang disebut ideoscape.
Latar belakangnya ialah demokratisasi.
Ketika demokratisasi terjadi di wilayah agama, maka semua serba ‘dibolehkan’.
Akhirnya, pembolehan yang kebablasan itu menyebabkan penyalahgunaan status kepemangkuan.
Pemangku atau jro mangku merupakan orang yang memiliki modal simbolik berupa otoritas.
Terkadang hal inilah yang disalahgunakan oleh sebagian orang, sehingga muncullah fenomena `mangku lebih`.
Namun hal ini jarang terjadi, karena `mangku lebih` ini justru lahir tanpa otoritas.
Kelahirannya lebih banyak karena dia sedang dibelenggu permasalahan besar.
Sebenarnya rasio atau akal masih bisa berperan untuk menyelesaikan masalah.
Namun karena tidak memiliki kecerdasan tersebut, mereka justru lari ke dunia niskala, yang akhirnya membuatnya lebih terpuruk lagi.
Akhirnya, jalan pintas terakhirnya ialah mewinten (ritual menjadi pemangku) yang dilakukan tanpa sepengetahuan dan sekehendak keluarga maupun desa adat tempatnya tinggal.
Karena hal tersebutlah kita sering melihat orang yang baru kemarin berada di dunia hitam, sekarang sudah jadi pemangku.