Unik, Tradisi Nganten Massal di Desa Pengotan Bangli, Ada Mempelai dari Sulawesi
Jika pada sasih kapat terdapat halangan untuk pelaksanaan nikah massal, maka tradisi tersebut akan digelar pada sasih kedasa.
Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
“Ada yang dari Gianyar, Kintamani, bahkan hingga Sulawesi," kata Jero Kopok.
Apabila tidak melakukan upacara pernikahan masal, maka pernikahan tersebut dianggap tidak sah secara adat, dan jika dikemudian hari berlangsung upacara pujawali di Bale Agung, mereka tidak diperkenankan melakukan persembahyangan.
Tradisi nganten massal diawali dengan proses mekruna (meminang), yang dilakukan keluarga pria ke rumah keluarga wanita, pada tiga hari sebelumnya.
Prosesi dilanjutkan dengan menghaturkan basih kaputan, kepada jero peduluan dan prajuru adat sebagai pemberitahuan.
Pada hari H, prosesi diawali dengan sangkep nganten.
Dalam hal ini bendesa adat menyampaikan pada masyarakat (krama) terkait siapa-siapa saja yang mengikuti nganten massal.
Prosesi dilanjutkan dengan mempersiapkan sarana upacara, termasuk nampah (menyembelih) satu ekor sapi, yang dibeli dan dihaturkan secara urunan oleh 21 mempelai.
Masing-masing mempelai juga membawa nasi putih yang sudah matang, atau yang disebut sari kesrah sebanyak empat rontong.
“Seluruhnya akan dibuatkan kawas, dan dibagi-bagikan sesuai dengan jumlah krama desa pengarep, sebanyak 206 KK. Setelah semua persiapan selesai, barulah para mempelai dipanggil,” bebernya.
Para mempelai pengantin berbaris memasuki jaba sisi selatan Pura Penataran Agung, dan secara berjejeran, mempelai mengikuti prosesi panglukatan atau pembersihan diri.
Selanjutnya memasuki tahap berikutnya, yang berada areal jeroan pura.
Suami dan istri duduk secara terpisah di Bale Nganten.
Sang suami duduk di sebelah selatan, dan istrinya di utara.
Pada Bale Nganten ini, para mempelai makan sirih bersama atau yang disebut petemuan.
“Tujuan dari makan sirih adalah untuk mengingatkan (eling), pada para mempelai, bahwa mereka telah menginjak pada usia lebih tua, dan menjadi krama desa. Setelah itu mereka mapamit di Ulun Bale Agung, dan menunaikan damar kurung. Tujuannya untuk memohon doa restu bagi keluarga barunya, agar kehidupan rumah tangganya langgeng,” tutur Jero Kopok.