Liputan Khusus

Kisah Perjuangan Pasutri asal Bali Jalani Program Bayi Tabung, Begini Penantian Menegangkan Gung Ari

Program bayi tabung kini kian populer menjadi pilihan para pasangan suami istri yang tengah menghadapi persoalan infertilitas (tak bisa hamil).

Penulis: Ni Ketut Sudiani | Editor: Ady Sucipto
Istimewa
AA Gede Oka Krishna dan AA Putu Ari Parlina bersama kedua putrinya, AA Rania Ashwinda Krishna dan AA Radha Aishwarya Krishna yang merupakan hasil program bayi tabung. 

Saat itu Ari memerlukan empat ampul obat dalam sehari. Harga satu ampul Rp 650 ribu. "Sehari bisa sampai Rp 3.5 juta habis," imbuhnya.

Proses penyuntikan dilakukan selama sepuluh hari berturut-turut.

Setiap dua hari sekali dilakukan pengecekan kondisi telur untuk memastikan apakah calon ibu masih memerlukan suntikan obat atau tidak.

"Ada yang hanya 8 kali suntikan, dan perlu dua ampul. Semakin muda semakin sedikit. Saya dengar di India lebih murah, bisa Rp 15 juta sudah untuk semua karena mereka membuat obat sendiri," imbuhnya.

India tercatat sebagai negara kedua yang berhasil mempraktekkan program bayi tabung setelah Inggris.

Di Indonesia, program bayi tabung diatur dalam undang-undang dan setiap pasutri yang akan mengambil langkah ini, harus mampu membuktikan legalitas pernikahan mereka.

Pemerintah tidak mengizinkan adanya donor sperma maupun sel telur.

Juga tidak berlaku sistem ibu atau ayah pengganti. Dalam program bayi tabung, hanya terjadi proses perbantuan mempertemukan sperma dan sel telur dari pasangan yang sah.

Setiap pasangan diminta untuk menunjukkan akta perkawinan dan bukti-bukti administrasi yang menandakan mereka benar suami istri. 

"Jadi kami diminta untuk mengumpulkan KK juga. Selalu ada kontrak persetujuan sebelum dieksekusi. Selain itu juga ada tes kesehatan," terang Ari.

Ari juga meyakini bahwa tidak akan terjadi pertukaran embrio dengan pasangan lainnya karena rumah sakit memiliki peraturan yang ketat dan semua prosedur dilakukan dengan sangat hati-hati.

"Kami tidak menyembunyikan dan ini sesuatu yang legal dan tidak perlu ditutup-tutupi bahwa kita memang perlu bantuan untuk proses hamil," tegasnya.

Ia mengamini bahwa memang masih banyak pasangan suami istri yang takut menjalani program ini karena cemas nanti embrionya tertukar.

Ia yakin hal itu tidak akan terjadi, terlebih dalam sehari proses petik telur jumlahnya tidaklah banyak.

Seperti halnya yang dialami seorang pekerja kesehatan di Rumah Sakit Sanglah yang tidak berkenan disebutkan namanya.

Halaman
123
Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved