Liputan Khusus

Dulu Puri Jadi Pusat Kekuasaan Raja di Bali, Namun Kini Kondisinya Memprihatinkan, Ini Sebabnya

Sejarah Bali erat terkait dengan keberadaan puri yang dulu pernah menjadi pusat kekuasaan, istananya para raja.

Penulis: I Wayan Erwin Widyaswara | Editor: Ady Sucipto
Tribun Bali/I Wayan Erwin Widyaswara
Kondisi Gelung Agung di Puri Agung, Bangli, beberapa waktu lalu. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sejarah Bali erat terkait dengan keberadaan puri yang dulu pernah menjadi pusat kekuasaan, istananya para raja. Pengaruh puri begitu kuat, khususnya pada abad ke-19.

Namun, kini puri tidak lagi memainkan peran kekuasaan yang sesignifikan dulu.

Bahkan, bangunan sejumlah puri di Bali dalam kondisi yang cukup memprihatinkan; dan malah ada diantaranya yang tinggal namanya saja.

Tepat di sebelah persimpangan Jalan Kusumayudha, Majapahit, Nusantara dan Jalan Merdeka, Bangli, tampak bangunan tua menyerupai gelung agung yang tinggi menjulang.

Di sanalah dahulu letak pusat kerajaan Bangli. Sayangnya, dari luar Puri Agung Bangli ini terkesan kurang terrawat.

Rumput-rumput tumbuh liar mengelilingi kawasan depan puri yang dibangun tahun 1576 masehi ini.

Bahkan, pada bangunan semeanggen (tempat menaruh jenazah para raja sebelum dibawa ke kuburan) puri ini, rumputnya sudah menyamai tinggi dinding bangunan itu.

Bangunan-bangunan kuno di bagian yang lain pun tampak kusam.

“Beginilah kondisi Puri Agung Bangli,” kata anggota keluarga Puri Agung Bangli, AA Made Karmadanarta, saat ditemui Jumat (26/10) lalu.

Ia menceritakan selama ini Puri Agung Bangli belum pernah mendapatkan bantuan dana pemeliharaan atau perawatan situs-situs peninggalan sejarah dan budaya dari pemerintah.

“Kalau ada perawatan, ya kami berpatungan biaya dengan keluarga puri,” katanya.

Di sebelah selatan semeanggen terdapat bangunan gelung agung zaman kuno setinggi sekitar 18 meter yang masih tampak utuh.

Sementara di sebelah utara kawasan semeanggen, ada kawasan utama Puri Agung Bangli yang dulu dijadikan istana dari para raja, mulai dari Raja Bangli I Dewa Gede Perasi (I Dewa Ngurah Den Bencingah) sampai Raja Bangli VI, I Dewa Kuat (I Dewa Gede Tangkeban III).

Di sana juga terdapat dokumentasi berupa potret enam raja dari masa ke masa.

Agung Karmadanarta juga menunjukkan tempat pemandian para raja di Bangli yang letaknya berdampingan dengan istana raja.

Tempat pemandian raja ini disebut-sebut masih sangat utuh alias belum dipermak sama sekali sejak zaman kerajaan masih berjaya dulu.

Di areal seluas 6x5 meter itu, ada lubang berbentuk persegi panjang yang kedalamannya setara tinggi orang dewasa. Di lubang  itu terdapat sebuah pancoran yang airnya datang dari sumber-sumber mata air pegunungan.

“Tapi sekarang sudah tidak ada air yang keluar, entah mengapa,” kata Agung Karmanadarta.

Rumput liar di sekitar kawasan pemandian para raja ini membuat pemandangan terlihat kurang rapi.

“Ini masih utuh sekali. Belum diapa-apakan,” kata keponakan dari tokoh Puri Agung Bangli, TNI AA Gede Anom Mudita.

Sebelah kawasan istana raja terdapat tempat khusus untuk raja melakukan meditasi.

Masuk ke kawasan ini, suasana hening terasa. Tempat bersemedi dikelilingi kolam ikan, sehingga menambah kesan sakral dan khusyuk kawasan ini.

AA Made Karmadanarta yang didampingi keluarga Puri Agung Bangli, AA Gede Oka, AA Semara, dan Panglingsir Puri Kilian—Puri Agung Bangli, AA Gede Bagus Ardana-- berharap agar pemerintah lebih memperhatikan keberadaan puri sebagai pewaris adat dan budaya di Bali.

Selama ini mereka kewalahan mengurus sendiri puri yang luasnya hampir satu hektare itu, karena semua hanya dikelola secara kekeluargaan.

“Ya semoga nanti ada bantuan dari pemerintah,” harapnya.

Puri Agung Bangli terbagi menjadi delapan puri di antaranya Puri Kilian, Puri Denpasar (bukan Puri Agung Denpasar), Puri Sokadanginan, Puri Sokadawanan, Puri Kelodan, Puri Kawantanggu, Puri Penida, dan Puri Siulan.

Dalam konteks politik, pasca kemerdekaan dan setelah Indonesia menjadi negara republik, puri-puri di Bali mengalami culture shock (gegar budaya), termasuk Puri Agung Bangli.

Karena pasca kemerdekaan Indonesia berbentuk republik, dan bukan monarki (kerajaan), pengaruh dan kekuasaan puri lambat laun surut.

“Jadi dulu itu orang banyak kaget, culture shock. Itu yang besar sekali pengaruhnya, sehingga saya pikir orang-orang jarang mempersiapkan itu. Intinya, zaman itu kan pertanda permulaan modernitas. Dari zaman kerajaan ke republik demokrasi. Di sana kan tidak ada persiapan. Segala sesuatu didasarkan atas kompetisi. Hidup ini persaingan, bukan perjalanan. Hidup kehilangan marwahnya,” kata AA Karmadanarta.

Pengaruh sistem politik ini juga menyebabkan sejumlah puri mengalami keretakan, termasuk Puri Agung Bangli, yang hingga saat ini pun tidak ada yang menempati pusat istana raja.

Hak-hak puri atas tanah, kata Karmadanarta, dikebiri oleh sistem demokrasi sehingga menyebabkan puri mengalami pemiskinan.

Operasional Tinggi

Denyut yang hampir senada juga bisa dirasakan di Puri Agung Klungkung. Kesunyian menyelimuti Puri Agung Klungkung saat Tribun Bali berkunjung pada Kamis (25/10) pagi.

Tidak banyak orang terlihat di puri keturunan langsung dari Majapahit ini.

Kondisi bangunan di puri yang letaknya tak jauh dari Kantor Bupati Klungkung ini juga terlihat sudah kusam dan keropos.

Dinding penyengker yang berbahan bata maupun lapisan-lapisan bangunannya sudah banyak yang keropos.

Puri yang berada di Jalan Untung Surapati, Kota Semarapura, ini terlihat bersahaja. Bangunan dan ornamen-ornamen di puri ini bisa dikatakan tak terkesan mewah.

Tak banyak tampak hiasan perada sebagaimana yang ada di sejumlah puri yang cukup memiliki kekayaan di Bali.

Seorang pria tua berpakaian sederhana keluar dari salah-satu bangunan di puri itu. Ia adalah Ida Dalem Smara Putra, Raja Klungkung ke-XII. 

Pria yang juga ketua atau Panglingsir Agung Paiketan Puri-Puri Sejebag Bali ini menceritakan sejarah Puri Agung Klungkung.

“Setelah puputan Klungkung, penghuni puri banyak dibuang ke Lombok, terutama yang kecil-kecil sehingga puri di sana lama tidak ditempati. Singkat cerita, ayah saya kembali dari Lombok, dan bergaul dengan masyarakat, kemudian diminta untuk membangun kembali bangunan yang rusak, tapi tidak ada dana. Maka diputuskan membangun di sini (di Puri Agung Klungkung sekarang),” jelas Ida Dalem.

AAA Dewi Girindrawardani, dosen Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana (Unud) mengungkapkan, memang ada perbedaan yang sangat besar antara suasana puri dahulu dengan sekarang.

“Puri di mana-mana memang sepi sekali. Kita memahami bahwa semua anggota keluarga puri bersekolah dan merantau,” terang Dewi, yang berasal dari Puri Agung Karangasem, saat ditemui di kediamannya di Denpasar, Rabu (31/10).

Dewi yang hampir setiap akhir pekan datang ke Puri Agung Karangasem mengakui kini cukup berat untuk mengelola puri karena areanya yang terbilang sangat luas.

Sejauh ini, perawatan puti dilakukan secara swadaya dan swadana, yakni dari kocek keluarga puri, tanpa ada bantuan dari pemerintah.

“Sebenarnya kasihan sekali purinya kalau sampai rusak atau hancur. Tiang merasakan sekali kemarin, nyiram dan membersihkan puri seharian itu, karena sangat luas,” tutur Dewi.

Menurut Dewi, di era kini tidak mudah mencari seseorang yang mau bekerja di puri.

Berbeda dengan dulu ketika banyak anggota masyarakat dengan rela dan senang hati mau menjadi abdi dan parekan di puri.

Biaya operasional yang tinggi juga tidak mudah bagi puri untuk memperbaiki jika ada bangunan yang rusak.

“Setelah sekian lama, kami baru bisa melakukan renovasi,” imbuh Dewi yang juga penulis buku The Last Rajah of Karangasem ini.    

Sempat ia menerima usulan agar keluarga puri bekerjasama dengan investor untuk pemeliharaan puri yang sudah ada sejak abad ke-19 itu.

Tapi Dewi dengan tegas menolak hal itu, karena baginya kehadiran investor akan sangat berisiko.

“Investor pasti punya keinginan untuk mengatur. Makanya kami tidak mau, dengan pemerintah saja kami tetap hati-hati. Puri itu museum hidup, nilainya sangat berharga, banyak catatan sejarah di sana juga sebagai warisan budaya,” terangnya.

Saat ini pendapatan Puri Agung Karangasem juga berasal dari Taman Tirta Gangga dan Taman Ujung.  

Direktur Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia (UNHI), Prof Dr I Wayan Sukayasa Msi, mengamini persoalan yang dialami keluarga Puri Agung Karangasem.

“Sekarang kan bukan lagi kekuasaan puri akan panjaknya. Sekarang sudah puri murni. Kalau tidak ada pekerjaan profesional, berat sekali biaya merawat puri itu. Dulu kan masih ada sistem utpeti, sekarang kan tidak ada. Ya, keluarga ini yang bertanggungjawab seluruhnya,” ungkapnya.

Ia pernah menyaksikan satu puri di bilangan Blahbatuh yang kondisinya sudah memprihatinkan.

“Lah kok puri besar bisa begini, bisa dibilang hancur itu. Ini tantangan besar sekali ini. Apakah puri ingin tetap ajeg? Sama seperti rumah tangga. Masyarakat tidak lagi memberi utpeti seperti dulu. Kalaupun ngayah, itu sama seperti ngayah ke desa pakraman,” ucapnya. (*)  

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved