Batas Tinggi Bangunan di Bali Setinggi Pohon Kelapa Bakal Direvisi, Ini Jadi Pertimbangan
masih ada perdebatan terkait ketinggian bangunan saat ini, yakni 12 meter atau setinggi pohon kelapa.
Penulis: Wema Satya Dinata | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Salah satu hal yang menjadi pembahasan Pansus Raperda tentang revisi Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi Bali adalah terkait dengan isu strategis mengenai ketinggian bangunan.
Ketua Pansus Revisi RTRW DPRD Bali, Ketut Kariyasa Adnyana mengatakan, masih ada perdebatan terkait ketinggian bangunan saat ini, yakni 15 meter atau setinggi pohon kelapa.
Di lain pihak dengan adanya perkembangan zaman dan juga dilihat beberapa sarana umum seperti Rumah Sakit Sanglah untuk meningkatkan pelayanan, tidak memungkinkan lagi untuk dikembangkan ke samping, sehingga di waktu mendatang harus dibangun ke atas.
“Apakah dari 15 meter dibatasi dua kali lipat, 25 meter atau 30 meter, nanti akan menjadi pembahasan di Pansus, disamping juga nanti menerima masukan dari Bupati/Walikota se-Bali, termasuk juga komponen masyarakat lainnya, seperti pelaku pariwisata, pegiat lingkungan dan organisasi kemasyarakatan,” kata Kariyasa usai memimpin rapat di Ruang Banggar, Kantor DPRD Bali, Senin (10/12/2018).
Sambungnya, selain pengembangan bangunan yang ke atas, akan diatur juga bangunan yang ke bawah, dalam rangka mengantisipasi kemajuan teknologi ketika terjadi pengerukan tanah ke dalam.
Karena disamping itu pengerukan juga berpotensi membahayakan ketika terjadi intrusi air laut yang masuk ke darat.
“Nanti akan dibicarakan dengan ahli apakah tidak membahayakan dengan struktur Bali, kita mintakan pendapatnya,” ucapnya.
Sejauh ini, kata dia, antara Pemerintah dengan DPRD Bali sudah menyepakati bahwa izin ketinggian bangunan itu hanya diberikan untuk kawasan tertentu, dan tidak menyangkut kawasan pariwisata dan pemukiman.
“Hanya khusus untuk rumah sakit, sekolah, dan kantor Pemerintahan. Itu saja yang menjadi pertimbangan,” ungkapnya.
Lanjutnya, Perda RTRW dapat digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembangunan di Bali.
Pemprov Bali sebenarnya tidak memiliki wilayah, namun Pemprov perlu mengatur secara umum, sehingga yang menjadi kepentingan Kabupaten/Kota, baik dalam menyusun rencana detail pembangunan di tingkat Kabupaten maupun tingkat kecamatan.
Menurutnya, kesalahan dari kebijakan pemerintahan sebelumnya adalah membangun ‘kue-kue ekonomi’ hanya di Bali selatan, sehingga menyebabkan ketimpangan di bagian lain Pulau Bali.
“Nah Ini yang akan kita bantu melalui revisi Perda RTRW. Bagaimana sentra-sentra pertanian di kabupaten tertentu misalnya, kemudian masalah wisata budaya atau religi. Ini yang kita bantu infrastrukturnya yang nanti disusun dalam RTRW,” ujarnya.
Sementara itu, anggota tim ahli kelompok pembangunan Provinsi Bali, Made Arca Eriawan mengatakan, Bali memiliki karakter bangunan yang unik, dimana bangunan yang ada harus menghormati tempat suci yang berada di bawah.
“Tempat suci kita kan terbuka, tapi perkembangan begitu pesat. Kalau sudah tidak memungkinkan ke samping, pasti ke atas. Naiknya ke mana, itu yang perlu didiskusikan (lebih lanjut) apakah berdasarkan fungsinya atau kawasannya,” tuturnya.