Simpang Ring Banjar

Kisah Banjar Khusus Kaum Brahmana di Bangli, Ditemukan Jejak Ida Bhatara Sakti Wawu Rauh

Banjar Brahmana Bukit, Kelurahan Cempaga Bangli ini merupakan banjar khusus bagi kaum brahmana yang terdiri dari 216 Kepala Keluarga (KK)

Tribun Bali/M. Fredey Mercury
Cawan serta uang kepeng yang ditemukan saat restorasi bangunan palinggih candi di Pura Geria Sakti Bukit Bangli. 

Berdasarkan histori dari sisi kewilayahan ini pula, imbuh Ida Bagus Ngurah Gde, terdapat keunikan lain utamanya dimana lokasi antar beberapa Geria yang berjauhan, terkadang diselingi oleh lokasi perumahan ayahan adat, yang merupakan bagian dari Banjar Adat Gunaksa.

Banjar Brahmana Bukit selain anggota banjarnya merupakan komunitas dari Wangsa Brahmana, kekhasan lainnya adalah Banjar yang mungkin paling banyak memiliki Sulinggih di Bangli.

Meski sebagian besar masyarakatnya merupakan seorang sulinggih, Ida Bagus Ngurah Gde menegaskan kewajiban bagi seluruh masyarakat banjar untuk menjadi seorang sulinggih, pun demikian juga tidak ada kewajiban tertulis, maupun awig-awig atau sanksi social terkait kewajiban itu.

Ini dikarenakan, menjadi seorang sulinggih merupakan niat suci dari masing-masing individu yang dilandasi keyakinan masing-masing sesuai drestha dan sesana yang ada di lingkungan Geria masing-masing.

“Menjadi seorang sulinggih itu sangat berhubungan dengan batin serta keyakinan masing-masing individu. Namun biasanya, sesuai dengan hukum alam, seseorang yang pendahulunya di Geria sudah menjadi Pedanda, otomatis ada kewajiban untuk melanjutkannya atau biasa disebut ngetut yasa,” ungkapnya. 

Suara Bajra Bersahutan Saat Surya Sewana

Pura Geria Sakti Bukit Bangli.
Pura Geria Sakti Bukit Bangli. (Tribun Bali/M. Fredey Mercury)

Terdapat keunikan lain di wilayah Banjar Brahmana bukit, selain dari sisi sejarahnya. Keunikan nyata ini dapat dijumpai saat seseorang mengunjungi lingkungan banjar Brahmana Bukit tepatnya pada pukul 07.00 Wita hingga 11.00 Wita.

Suara dentingan bajra atau genta akan terdengar bersahut-sahutan, sebab pada jam-jam tersebut, seluruh Ida Pedanda di Griya, tengah melakukan pemujaan surya sewana.

“Pemujaan ini memang wajib dilakukan oleh Ida Pedanda setiap hari tiap pagi hari, dengan tujuan untuk mendoakan seluruh alam dan isinya,” jelas kelihan Banjar Brahmana Bukit, Ida Bagus Ngurah Gde.

Selain itu, tatkala melakukan persembahyangan di Pura Geria Sakti Bukit Bangli, tidak ada pedanda yang muput upakara.

Pun demikian, para pedanda yang melakukan persembahyangan juga tidak menggunakan atribut lengkap. Seperti mengenakan gelung/mahkota, bajra, maupun artribut lain.

Para pedanda saat melakukan persembahyangan hanya mengenakan busana serba putih.

Ini disebabkan, berdasarkan keyakinan masyarakat setempat, leluhur masyarakat Banjar Brahmana Bukit yang berstana di Pura Geria Sakti Bukit merupakan seorang pendeta yang maha suci dan sangat dimuliakan.

Dari penuturan secara turun-temurun dan sudah merupakan drestha suci yang diyakini, setiap pedanda/sulinggih yang merupakan keturunan beliau (Ida Bhatara Sakti Wawu Rauh) tidak berani untuk muput upakara, utamanya saat piodalan di pura.

Kekhasan lainnya adalah, setiap odalan (210 hari), persembahan upakara baktinya memakai tingkatan utamaning utama yaitu catur neri.

Di samping karena adanya pelinggih Sanggar Tawang, juga sudah merupakan drestha yang diwarisi sejak dulu.

“Atas dasar inilah persembahyangan yang dilakukan oleh para pedanda hanya mepiuning saja. Sebab keyakinan beliau dan kami para welaka, bahwa beliau yang berstana di Pura-lah yang sudah muput secara niskala,” jelasnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved