BBPOM Denpasar: 76 Persen Iklan Obat Tradisional Menyesatkan

BBPOM Denpasar menemukan banyaknya iklan obat dan makanan yang jauh dari kata layak, bahkan beberapa diantaranya sangat menyesatkan

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Widyartha Suryawan
Infografis: Tribun Bali/Dwi S
Infografis iklan obat tak sesuai aturan berdasarkan data BBPOM Denpasar. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Denpasar terus mengawasi peredaran iklan obat dan makanan di Provinsi Bali.

Hasilnya, banyak ditemui iklan obat dan makanan yang jauh dari kata layak, bahkan beberapa diantaranya sangat menyesatkan.

Akibatnya, banyak masyarakat yang mengonsumsi obat dan makanan tersebut karena 'termakan' oleh iklan tanpa tahu khasiat yang sebenarnya.

Kepala BBPOM di Denpasar, I Gusti Ayu Aryapatni mengatakan, dari iklan lima jenis produk yang tidak layak, iklan obat tradisional paling banyak persentase pelanggarannya.

Hal itu dikatakan Aryapatni saat sosialisasi perkuatan pengawasan dan tindak lanjut pengawasan iklan, di Aula BBPOM Denpasar, Rabu (6/2/2019).

Menurut Aryapatni, pada 2016, iklan obat tradisional yang tidak memenuhi ketentuan ada 52,6 persen, rokok 51,6 persen, pangan 47,8 persen, kosmetik 36,6 persen dan suplemen kesehatan 28,1 persen.

Pada 2017, pelanggaran iklan obat tradisional meningkat menjadi 85,9 persen, disusul suplemen kesehatan 61,1 persen, rokok 53,2 persen, pangan 42,7 persen, dan kosmetik 28,6 persen.

Sementara data tahun 2018, iklan obat tradisional yang mencapai pelanggaran iklan mencapai 76 persen dan menempati urutan pertama.

Selanjutnya iklan suplemen kesehatan (64,4 persen), rokok (43,9 persen), kosmetik (24,8 persen) dan pangan (31,6 persen).

Aryapatni menilai, obat tradisional paling tinggi persentase pelanggarannya karena sering mengiklankan produknya secara berlebihan.

"Sebenarnya obat tradisional itu kan membantu menyehatkan. Hanya membantu, bukan menyembuhkan. Kan sering (iklannya) obat tradisional menyembuhkan segala macam penyakit tanpa data ilmiah. Kalau itu diiklankan terus itu namanya menyesatkan masyarakat," jelasnya.

Selain secara berlebihan, iklan obat tradisional ini juga sering tidak dilengkapi dengan nomor izin edar (NIE), berisi testimoni, berhadiah, berisi mencegah atau mengobati TBC, kanker, diapet dan lain-lain.

Disamping itu juga berisi klaim aman, tanpa efek samping, tanpa bahan kimia, menggunakan kata seperti anti, bebas, solusi prima serta tidak ada nama produsen dan tidak mencatumkan spot baca aturan pakai.

Aryapatni mengatakan, pihaknya mengundang para pengusaha obat dan awak media ke kantornya, Rabu pagi untuk berbagi informasi terkait periklanan dan mendiskusikan langkah pengendalian iklan yang sering menyesatkan publik.

Dari hasil pengawasan pihak BB{OM Denpasar selama tiga tahun terakhir, hasilnya di Provinsi Bali terdapat 40-50 persen iklan yang tidak memenuhi syarat. 

Gandeng KPID Bali
BBPOM Denpasar menggandeng Komisi Penyiaran Daerah (KPID) Bali untuk mengawasi iklan obat dan makanan khususnya di radio dan televisi.

Kepala BBPOM Denpasar, I Gusti Ayu Adhi Aryapatni mengatakan, pihaknya sering mengawasi iklan obat dan makanan di radio dan televisi, yang tidak memenuhi persyaratan.

Setelah ditelusuri, kata Aryapatni, ternyata iklan itu tidak dibuat produsennya, melainkan oleh pihak distributor.

"Jadi tidak langsunglah memberi efek penurunan iklan yang memenuhi syarat. Jadi kita berpikir mungkin perlu menggandeng KPID sehingga kita bisa mengadu (atau) membuat tembusan tidak lanjut sehingga iklan yang tidak memenuhi syarat itu bisa dihentikan," jelasnya.

Ketua KPID Bali, Made Sunarsa menjelaskan, banyak juga hal-hal yang disiarkan radio dan televisi ternyata merugikan kepentingan publik.

Namun beberapa siaran itu tidak diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dan UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.

"Misalnya tadi beberapa aturan-aturan tentang makanan. Izin tayang, izin edar, izin iklan, semua adanya di peraturan kesehatan dan peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)," jelasnya.

Sunarsa menjelaskan, lembaganya tidak mungkin mengawal seluruh aturan lembaga lain, kecuali ada Memorandum of Understanding (MoU) dengan lembaga yang bersangkutan.

"Misalkan ketika kami ada pelanggaran, BBPOM kan tidak berwenang memberikan sanki kepada lembaga penyiaran. BBPOM hanya beri sanksi kepada produsen (obat) dan makanan," tuturnya.

"Nah itulah dalam MoU itu nantinya dari pihak BPOM itu menginformasikan ke kita bahwa produk ini sudah melanggar, tapi bapak tolong tindaklanjuti kepada lembaga penyiaran. Kita berbagi kewenangan," imbuh Sunarsa. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved