Disertasi Pastika Usulkan Kewajiban Pemerintah Dukung Kapasitas Pers
Menurut Pastika, pesan yang ingin disampaikan adalah bagaimana menyelamatkan pers supaya tetap bisa berperan sebagai media penyalur penegakkan HAM
Penulis: Wema Satya Dinata | Editor: Irma Budiarti
Hal Ini menjadi bahaya karena negara juga berkepentingan terhadap pers.
Baca: Tak Perlu Repot ke Salon! Pakai 6 Bahan Alami Ini untuk Menebalkan Alis Tipis
Baca: Diduga Babi Ngepet, Warga Membawa Seekor Babi ke Kantor Polisi
Selain itu, dalam disertasinya juga mengkritisi dari aspek konseptual, yaitu frasa kemerdekaan pers dianggap tidak tepat.
“Tidak ada di seluruh dunia mengatakan kemerdekaan pers, kecuali dalam undang-undang 40 (Tahun 1999 tentang Pers) ini, kenapa dibuat UU kemerdekaan pers karena saat itu Indonesia dalam masa euphoria setelah terbelenggu dan terjajah sehingga ada anggapan bebas, reformasi, merdeka,” tuturnya.
Maka dari itu dari frasa merdeka ini ada akibat psikologis yang ditimbulkan karena kata merdeka berarti tidak boleh ada campur tangan Pemerintah.
”Terus yang membiayai Dewan Pers siapa, yang membiayai pelatihan-pelatihan kompetensi wartawan siapa?” tanyanya.
Baca: BREAKING NEWS: Elite Partai Demokrat Andi Arief Ditangkap Bersama Seorang Wanita Karena Narkoba
Baca: Penelitian: Gemar Makan Ikan Bantu Ringankan Gejala Rematik
Seharusnya, kata dia, dalam UU itu masuk sebuah pasal yang menyatakan Pemerintah berkewajiban mendukung segala upaya untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi pers Indonesia, dan menguatkan fungsi Dewan Pers.
Dimana saat ini tugas Dewan Pers hanya terbatas untuk mendata dan memverifikasi lembaga pers.
Ketika ditanya terkait rencana ke depan setelah menyandang gelar Doktor, ayah dari Putu Pasek Sandoz Prawirotama, Made Diah Sekar Mayangsari dan Nyoman Wicaksana Wirajati ini, menjawab akan terus belajar.
“Ini risikonya luar biasa memakai nama Doktor. Seorang Doktor di luar negeri gelarnya Philosophy Doctor, artinya dia seorang filsuf. Kalau seorang filsuf mainannya adalah kebijaksanaan (Wisdom). Jadi harusnya dia yang bijaksana. Kalau terpelajar saja belum tentu bijaksana,” ucap Pastika. (*)