Simpang Ring Banjar

Jaga Toleransi Lewat Majenukan, Digelar Usai Kerajaan Karangasem Ekspansi ke Lombok

Tradisi majenukan (melayat) di Desa Adat Ujung Hyang menjadi warisan leluhur yang mencerminkan keberagaman dan toleransi antara umat Hindu dan Islam

Penulis: Saiful Rohim | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/Saiful Rohim
Desa Adat Ujung Hyang, Kecamatan Karangasem. Tradisi majenukan (melayat) di Desa Adat Ujung Hyang, Kecamatan Karangasem menjadi warisan leluhur yang mencerminkan keberagaman dan toleransi antara umat Hindu dan Islam di Ujung Hyan 

TRIBUN-BALI.COM, AMLAPURA - Tradisi majenukan (melayat) di Desa Adat Ujung Hyang, Kecamatan Karangasem menjadi warisan leluhur yang mencerminkan keberagaman dan toleransi antara umat Hindu dan Islam di Ujung Hyang.

Bendesa Adat Ujung Hyang, Gusti Bagus Suteja menjelaskan tradisi majenukan dilakukan ketika ada warga meninggal.

Misalkan ketika ada warga muslim yang meninggal, krama Hindu akan majenukan ke rumah duka sembari membawa beras serta uang.

"Begitu juga sebaliknya. Ketika ada krama Hindu yang meninggal, nyama selam (saudara Islam) juga majenukan," kata Gusti Bagus Suteja saat ditemui di rumahnya.

Tradisi majenukan adalah warisan leluhur yang tetap dipertahankan hingga kini.

Tradisi majenukan digelar usai Kerajaan Karangasem ekspansi ke Lombok.

Setelah itu Raja Karangasem membawa krama Muslim ke Karangasem.

Baca: Menteri Yohana Pulihkan Trauma Perempuan dan Anak Korban Banjir Bandang Sentani

Baca: Srikandi Cup Seri 3 Musim 2018-2019 Jadi Penentu Terakhir Sebelum Babak Playoffs

Sebagian ditempatkan di Ujung Hyang.

"Setelah itu digelar kebiasaan majenukan," ungkap Gusti Suteja.

Maknanya untuk jaga silaturahmi, kebersamaan, keberagaman, serta toleransi antara Hindu dan Muslim di Adat Ujung Hyang.

Harapannya, hubungan Muslim dan Hindu di Ujung Hyang tetap damai, rukun, dan berdampingan seperti diinginkan.

"Setelah majenukan, biasanya krama juga mengikuti pemakaman. Kalau yang meninggal saudara Muslim, krama Hindu biasanya mengantar sampai pemakaman. Begitu juga sebaliknya," tambah Gusti Suteja.

Ditambahkan, Desa Ujung Hyang memiliki tradisi ngejot sebagai simbol kebersamaan dan keberagaman.

Tradisi ini adalah peninggalan leluhur dan sampai sekarang masih tetap digelar.

Baca: Hanya Tumbuh di Lereng Muria Buah Parijoto Dipercaya Memiliki Khasiat Bantu Mengatasi Kehamilan

Baca: Arrow Archery Club Juara Umum Wali Kota Cup X 2019 Cabor Panahan

Kebiasaan ngejot dilakukan saat Galungan, Lebaran Ketupat, serta Idul Fitri.

Halaman
12
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved