Pementasan Calonarang di Banjar Pengaji, Anak-anak Berebut Jadi Bangke Matah & Hadapi Risiko Ini
Tak banyak yang berani melakoni peran ini, lantaran taruhannya nyawa. Sebab seseorang yang menjadi bangke matah, kerap menjadi incaran penekun ilmu
Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Ady Sucipto
TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Jika selama ini hanya orang dewasa dengan “kelebihan’ khusus yang berani menjadi watangan matah atau Bangke matah dalam pementasan calonarang, berbeda yang terjadi di Banjar Pengaji.
Di banjar ini justru anak-anak yang berebut menjadi bangke matah. Kok bisa?
WATANGAN matah atau bangke matah merupakan salah satu bagian sakral dalam pementasan calonarang.
Tak banyak yang berani melakoni peran ini, lantaran taruhannya nyawa.
Sebab seseorang yang menjadi bangke matah, kerap menjadi incaran penekun ilmu hitam untuk disakiti.
Namun di Banjar Pengaji, Desa Melinggih Kelod, Payangan, Gianyar, lakon menjadi watangan matah justru menjadi rebutan anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD).
Lantaran hanya membutuhkan satu orang watangan matah, prajuru setempat sampai menggelar pemilihan dengan suara terbanyak, supaya tidak mengecewakan para pendaftar.
Selain itu, watangan matah di Desa Pakraman Pengaji ini juga tidak umum.
Baca: Kronologi 2 Bocah Denpasar Tewas di Kolam Renang Taman Tirta Mengwi, Rencana Diaben Tanggal 26 April
Biasanya watangan matah saat berada di kuburan ditemani ratusan orang.
Di sini, bangke matah akan ditinggal sendirian di kuburan, meskipun yang bersangkutan masih dalam keadaan sadar.
Tak tanggung-tanggung, watangan ini ditinggal sendirian dalam jarak 1 kilometer (km).
Biasanya keselamatan seorang watangan matah juga dijamin oleh balian (dukun), di Banjar Pengaji sama sekali tak pernah menggunakan balian.
Prajuru Desa Pakraman Pengaji, Wayan Suandi, saat ditemui di rumahnya, Senin (22/4) mengatakan, setiap odalan di Pura Dalem maupun Pura Puseh, krama setempat selalu mengadakan pementasan calonarang.
Pementasan ini selalu berisi watangan matah, yang diperankan anak-anak yang masih duduk di bangku SD.
“Kalau ada calonarang, anak-anak selalu berebut jadi watangan. Bahkan sampai mengadakan poling,” ujarnya.
Menurut Suandi, antusiasme anak-anak setempat menjadi watangan matah sudah terjadi sejak dulu, bahkan saat Suandi sendiri masih anak-anak.
Baca: Benjolan di Leher Lucinta Luna Mendadak Jadi Perhatian Saat Cekcok dengan Deddy Corbuzier, Jakun?
Namun sayangnya, Suandi tidak pernah lolos dalam poling, lantaran saat masih SD, fisiknya relatif gemuk.
“Saya dulu juga selalu daftar, tapi tidak pernah lolos karena waktu kecil tubuh saya besar. Biasanya yang dipilih itu yang butuhnya kecil, kurus supaya mudah diarak,” ujarnya lalu tersenyum.
Suandi menegaskan, dalam hal ini Desa Pakraman Pengaji sama sekali tak pernah melibatkan balian. Mereka hanya percaya pada Ida Bhatara Sesuhunan.
“Balian tidak ada yang berani masuk ke sini, di sini nyungsung pelinggih Bali Aga dan Bali Mula. Memang dari dulu tidak pernah pakai balian. Dulu ada penari Pandung yang pakai pekakas, saat menari langsung pungkat. Ada juga yang ke pura bawa sesabukan, langsung utah mising,” ujarnya.
Menurut Suandi, selama ini tidak pernah ada anak yang setelah menjadi watangan matah, jatuh sakit.
Bahkan yang terjadi justru sebaliknya. Karena itulah, para orangtua tidak ada yang melarang anak-anaknya menjadi watangan matah.
“Astungkara, tidak ada yang sakit. Malahan yang sakit jadi sembuh,” tandasnya.
Pihaknya berharap, hal ini tidak dijadikan sebagai ajak unjuk kehebatan oleh para anak-anak setempat.
Namun harus dipakai sebagai sarana bhakti pada Ida Bhatara. (wayan eri gunarta)