Alit Resmi Laporkan Sandoz Cs, Istri Alit: Kami Yakin Semua Akan Terbongkar

Istri Anak Agung Alit Wiraputra, Ratna Sari Dewi, bersama kuasa hukumnya yang baru, Gusti Randa, mendatangi Direktorat Reserse Kriminal

Penulis: Busrah Ardans | Editor: Ady Sucipto
Tribun Bali/Busrah Syam Ardan
LAPOR - Kuasa hukum Alit Wiraputra, Gusti Randa, bersama tim dan istri Alit, Ratna Sari Dewi, saat mendatangi Polda Bali untuk melaporkan Sandoz, Candra Wijaya, dan Jayantara, Senin (29/4/2019). 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR -- Istri Anak Agung Alit Wiraputra, Ratna Sari Dewi, bersama kuasa hukumnya yang baru, Gusti Randa, mendatangi Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Bali untuk melaksanakan pengaduan masyarakat (dumas) yang dilanjutkan dengan laporan polisi, Senin (29/4).

Dalam kesempatan ini, kubu Alit secara resmi melaporkan I Putu Pasek Sandoz Prawirottama dalam kasus dugaan penipuan dan penggelapan senilai Rp 16 miliar.

Selain Sandoz, yang merupakan putra pertama mantan Gubernur Bali Made Mangku Pastika, juga dilaporkan dua orang lainnya yaitu Candra Wijaya dan Made Jayantara, yang juga diduga menerima aliran dana dari Alit.

Sebelumnya, Alit yang menjabat sebagai Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bali telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rutan Polda Bali.

Alit jadi tersangka kasus dugaan penipuan pengembangan Pelabuhan Benoa.

"Kami melaporkan, mengadukan kepada orang-orang yang diduga menerima aliran dana dari klien kami. Jadi kalau dikatakan klien kami melakukan penipuan penggelapan terhadap uang sebesar Rp 16 miliar, maka kami dapat buktikan bahwa uang tersebut sebagian besar itu telah diterima oleh tiga orang ini. Sehingga kami adukan ini dengan dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan juga ditambah penadahan,” ujar Gusti Randa di hadapan wartawan.

Gusti Randa mengklaim kliennya adalah pihak yang dirugikan dan dikorbankan dalam konteks proyek revitalisasi perluasan Pelabuhan Benoa.

“Sehingga kami melaporkan ketiganya," tandasnya.

Dia menjelaskan, bilamana kliennya tersangka, sepatutnya ketiga orang yang dilaporkan, juga harus kena pasal 55 penyertaannya (tindak pidana penipuan).

"Lalu siapa tiga orang itu, yang pertama berinisial S, CW, dan JY. Itu kami adukan, kami laporkan. Jadi kami mau membuat terang dulu, mereka yang mendapatkan harus bertanggungjawab. Jangan klien kami yang jadi korban, seolah-olah klien kami menjadi dader-nya (pelaku tindak pidana),” jelas Gusti Randa, yang juga dikenal sebagai pengurus teras PSSI ini.

Hingga saat ini Sandoz, Candra Wijaya, dan Jayantara berstatus sebagai saksi. Penyidik sebelumnya sudah pernah melakukan pemeriksaan.

"Laporan kami ini masih kita ajukan ke dumas, karena seperti biasa, di Polda Bali ada dumas dulu kemudian akan diselidiki dan mereka membuat SP2HP baru mengeluarkan nomor LP (laporan polisi). Nomor dumas-nya 108/4/2019, 29 April," tambahnya.

Gusti Randa mengaku sudah mengumpulkan semua bukti-bukti.

Di antaranya bukti kerjasama, beberapa rekap dari bank terkait aliran dana, dan catatan sebagai petunjuk, seperti siapa mendapatkan berapa. Semua berdasarkan cek-cek yang ada di pihak Alit.

“Tiga orang itu kalau kita rekap hasil bank yang dikeluarkan klien kami, itu mencapai kurang lebih Rp 13 miliar. Jadi kami hadir sekali lagi untuk mengadukan tiga orang tersebut," terangnya.

Dalam pemeriksaan setelah dirinya ditahan di Polda Bali, Alit sempat mengungkapkan aliran dana Rp 16 miliar yang diterima dari pengusaha asal Jakarta Sutrisno Lukito.

Alit mengaku menerima dana Rp 2 miliar, sedangkan Sandoz Rp 7,5 miliar ditambah 80 ribu dollar AS atau sekitar Rp 800 juta, Candra Wijaya Rp 6,4 miliar, dan Jayantara Rp 1,5 miliar.

Berawal Kerja Sama

Berdasarkan peristiwa kasus ini, Gusti Randa menuturkan proyek ini awalnya terjalin atas kerja sama antara Sutrisno Lukito dengan Sandoz.

"MoU itu untuk mendapatkan proyek revitalisasi. Maka draft MoU itu dilanjutkan dengan kerja sama antara Sutrisno, Abdul Satar, dan klien kami. Untuk mendapatkan izin prinsip dari gubernur maka dibutuhkan langkah-langkah. Di antaranya melakukan audiensi, mendapatkan rekomendasi dari DPRD sampai keluar izin prinsip,” ujarnya.

Menurutnya, proses tersebut semuanya ada biayanya sebesar Rp 30 miliar.

“Klien kami telah mendapatkan Rp 16 miliar karena dalam kerjasama itu terbagi dua, jika hanya rekomendasi artinya mendapatkan Rp 16 miliar. Jika sampai izin prinsip, maka Rp 16 miliar ditambah Rp 14 miliar sehingga genap Rp 30 miliar. Kenyataannya klien kami sudah mendapatkan rekomendasi dengan biaya Rp 16 miliar, nah sampai di situ sudah betul," jelasnya.

Menjadi tidak betul, lanjutnya, ketika saat keluar izin prinsip itu, yang keluar bukan atas nama perusahaan yang diurus oleh Alit yakni PT Bangun Segitiga Mas (BSM).

Tetapi nama perusahaan lain yakni PT Nusa Mega Penida sehingga dana Rp 14 miliar itu tidak pernah didapat. \

Alit hanya mendapatkan Rp 16 miliar.

“Tapi kok bisa dikatakan klien kami ini melakukan penipuan penggelapan? Padahal sudah sesuai prosedurnya dan faktanya uang Rp 16 miliar pun tidak ada di klien kami," sambung Gusti Randa.

Saat pihaknya mencari tahu PT BSM, ternyata itu tidak terdaftar sebagai perusahaan.

"Dan pertanyaan saya, bagaimana mungkin perusahaan yang belum ada lembaran negaranya bisa mengurus ini, sampai keluar rekomendasi? Tetapi ketika rekomendasi keluar hingga izin prinsip bukan untuk perusahaan ini. Jadi ada permainan apa ini? Jadi ada MoU yang sebelumnya saya jelaskan dan kerja sama. Yang kedua ini, kerja sama itu betul oleh klien saya. Di MoU klien saya sebagai saksi,” ujarnya.

"Di kerja sama itu dikatakan dengan adanya kesepakatan ini, harus dibuat suatu perusahaan yang bernama PT BSM. Klien kami menjadi direktur, lalu mendapatkan share 15 persen. Artinya apa, ketika surat-surat kepengurusan ini dimulai dan dilakukan, yang bertandatangan adalah presiden direktur, bukan klien kami. Presiden Direktur PT BSM namanya adalah Candra Wijaya. Ini yang melakukan surat menyurat, kami ada copy-nya, buktinya. Jadi kalau dikatakan atas nama dirinya sendiri (Alit Wiraputra) itu bohong. Karena pengurusan ini sudah memakai bendera bernama BSM, meskipun BSM itu belum ada lembaran negaranya di Kemenkumham" jelasnya lagi panjang lebar.

Ia melanjutkan, berdasarkan UU Korporasi (perusahaan), direktur utama yang melakukan kerjasama dengan pihak luar, tapi ketika dikatakan ada penipuan dan penggelapan, justru kliennya yang hanya sebatas sebagai direktur dijadikan tersangka.

"Ini yang harus kita bongkar. Jadi laporan kami ini untuk membuat terang dugaan kasus ini. Maka kami adukan kepada tiga orang ini yang bukti awalnya adalah menerima dana yang katanya dana itu dari Sutrisno Lukito selaku pelapor terhadap klien kami. Dan teman perlu tahu, bahwa Sutrisno Lukito sendiri di PT BSM sebagai komisaris, jadi bagaimana mungkin komisaris melaporkan penipuan dan penggelapan terhadap direkturnya? Inikan harus selesai dulu," katanya lagi.

"Jadi, kalau dikatakan klien kami bertindak atas nama diri sendiri, loh surat menyurat kepada Pemda, Bappeda, dan lainnya itu sudah pakai PT BSM, Candra Wijaya sebagai dirut," lanjut dia, kembali mempertanyakan status orang-orang tersebut.

Ia menambahkannya, sampai saat ini dirinya melihat korporasi tersebut harus dipertanyakan.

"Jika melihat PT BSM suatu perusahaan, untuk mendapatkan rekomendasi dan izin prinsip maka harus jelas. Seperti, siapa melakukan apa, dengan jabatan apa dia bertindak sebagai apa. Artinya korporasi ini perlu dipertanyakan. Karena surat yang keluar dari perusahaan ini direktur utama-nya yang menandatangani ke Pemda untuk kepengurusannya. Tapi aliran dana, jatuhnya kepada direktur. Hal seperti inilah yang perlu jelas," tambahnya.

Pihaknya juga akan melaporkan Sutrisno Lukito dengan pasal fitnah.

Namun saat kemarin timnya masih menunggu karena sebelumnya Sutrisno sebagai pelapor.

"Kita mau pakai pasal fitnah dan laporan palsu," ujarnya.

Ditanya apakah akan menempuh praperadilan, Gusti Randa menyatakan jika kalau melakukan praperadilan, itu berarti pihaknya sesadar-sadarnya ingin perkara ini selesai.

"Kalau ini selesai, katakanlah klien kami dinyatakan tidak bersalah, maka perkara ini akan terkubur (tertutup). Jadi sebelumnya kami ingin agar ini terang benderang dulu," jawabnya.

Sementara itu, Ratna Sari Dewi di hadapan wartawan mengucapkan terima kasih karena membantu keluarganya dalam menyelesaikan perkara tersebut.

Dengan wajah murung dan tegang, ia meyakini kasus ini akan terbongkar.

"Terima kasih teman-teman wartawan, saya tidak banyak omong. Saya percaya dan dari awal saya sampaikan, Tuhan tidak pernah tidur, Tuhan tidak pernah terlelap. Dalam hal ini kami sangat mengharapkan kekuatan doa kepada Tuhan. Dan melalui pengacara ini pun saya percaya melalui pertolongan Tuhan,” ujarnya dengan nada pelan.

Ratna Dewi yang memakai baju warna merah yakin suaminya tidak bersalah.

"Biarlah kebenaran akan diperlihatkan pada waktunya. Jadi kami tetap bersyukur sampai saat ini karena kami yakin ada hikmah di balik ini semua," ucapnya. (*) 

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved