Bali Sudah Kritis Soal Pembuangan Sampah Medis

Menurut peneliti limbah medis, Bali bisa dikatakan dalam kondisi kritis dalam urusan pembuangan limbah medis

Penulis: Rino Gale | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/I Komang Agus Aryanta
BERISI DARAH - Sampah medis berupa tabung darah, yang masih berisi darah, dan jarum suntik bekas ditemukan di areal TPS Kekeran, Mengwi, Badung, Rabu (23/1/2019). 

Namun, semua RS menolak untuk melakukan penanganan limbah medis selain dengan incinerator.

Kenapa menolak? Karena mereka masih mengikuti peraturan di KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) yang menilai RS harus membuang limbah medis melalui incinerator.

"Jadi mereka tidak mau izin lingkungannya dicabut. Di KLHK ada peraturannya untuk limbah medis yang infeksius harus dibakar," ujarnya.

Akan tetapi, biaya untuk mengoperasikan incinerator sangat mahal.

RSUP Sanglah Denpasar mempunyai incinerator besar, karena ada sumbangan dari Australia setelah kejadian Bom Bali tahun 2002.

Karena kapasitas incinerator yang dimiliki RSUP Sanglah sangat besar, maka RSUP Sanglah menerima sampah atau limbah medis dari RS-RS kecil dan puskesmas-puskesmas.

"Jadi, saat itu setiap limbah dari RS kecil ataupun puskesmas diangkut semua dan kemudian dibakar di RSUP Sanglah. Ada alat angkutnya sendiri," ungkapnya.

Baca: TRIBUN WIKI - 5 Fakta Tragedi Bom Bali I: Kronologi hingga Pelaku Amrozi Cs

Baca: Raih Medali Perak Kejuaraan Atletik Asia, Lalu Muhammad Zohri Pecahkan Rekor Nasional

Akhirnya, RSUP Sanglah pun kewalahan, karena terlalu banyak RS kecil dan puskesmas yang mengoper limbah medisnya di RSUP Sanglah.

"Akhirnya sekitar tahun 2011 atau 2012, RSUP Sanglah tidak mau menerima lagi limbah medis dari tempat-tempat lain, karena RSUP Sanglah juga kewalahan dengan limbah medisnya sendiri," jelasnya.

"Ya terus dibawa kemana limbah medis tersebut, inilah yang kemudian menjadikan Bali kritis soal limbah medis. Sebetulnya tidak hanya di Bali saja, tapi seluruh Indonesia," tambahnya.

Menurut aturan, jika RS tidak memiliki incinerator, maka limbah medisnya bisa dioperkan ke RS lain yang memiliki incinerator.

Apabila sama sekali tidak ada RS yang memiliki incinerator, kata dia, semestinya limbah medis dibuang ke fasilitas incinerator milik kota.

Dan seharusnya setiap kota memiliki alat incinerator.

"Itu saja pilihannya. Kalau tidak ada pilihan, ya mereka bisa buang sembarangan. Jadi saya tidak heran kalau ada limbah medis di daerah perkebunan ataupun di aliran sungai," ucapnya.(*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved