Bali Sudah Kritis Soal Pembuangan Sampah Medis
Menurut peneliti limbah medis, Bali bisa dikatakan dalam kondisi kritis dalam urusan pembuangan limbah medis
Penulis: Rino Gale | Editor: Irma Budiarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Menurut peneliti limbah medis sekaligus pendiri/penasihat senior Yayasan Bali Focus/Nexus3, Ir Yuyun Ismawati MSc, Bali bisa dikatakan dalam kondisi kritis dalam urusan pembuangan limbah medis.
Tidak banyak fasilitas yang tersedia untuk membakar limbah-limbah medis di pulau ini.
Dengan kondisi demikian, kata Yuyun, tidak sedikit lembaga-lembaga kesehatan, termasuk puskesmas dan klinik-klinik yang dipertanyakan bagaimana mengelola limbah medisnya dengan baik.
"Sebetulnya, kondisi ini tak hanya terjadi di Bali, tapi pada umumnya juga di daerah-daerah lain di seluruh Indonesia,” ujar Yuyun saat dihubungi Tribun Bali melalui seluler, Rabu (1/5/2019).
Yuyun Ismawati bercerita, penelitiannya tentang limbah medis di Bali berawal dari dia dan teman-temannya melakukan bersih-bersih di Pantai Kerobokan, Seminyak, pada tahun 2010 lalu.
Kala itu, dalam bersih-bersih pantai, Yuyun menemukan limbah medis berupa jarum suntik sebanyak satu ember dalam waktu tak sampai setengah jam.
Kemudian ia mencari tahu asal limbah tersebut.
Ada beberapa kemungkinan yang dicurigai sebagai sumbernya saat itu.
Baca: Gara-gara Penyakit Ganas Ini, Lee Chong Wei Terlempar dari Peringkat 100 Dunia
Baca: Caretaker Pengkab Tabanan Target Tim Bulutangkis Raih Medali Perak & Perunggu di Porprov Bali 2019
Antara lain rumah sakit kecil, puskesmas atau klinik, yang membuang limbah medis ke tempat sampah dan ke sungai, yang kemudian dibawa aliran menuju pantai.
Ia tidak mencurigai limbah medis itu dari pengguna drug (narkoba), karena ditemukan juga perban serta bekas darah.
"Saya mulai mengamati limbah medis di Bali tahun 2008. Awalnya dari bersih-bersih pantai, yang kemudian kita menemukan limbah jarum suntik itu banyak sekali. Dari situ saya mulai mengamati sejumlah rumah sakit yang ada di Bali," jelas Yuyun.
Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui pengelolaan limbah medis dan penanganan alat kesehatan (alkes) yang mengandung merkuri (air raksa).
Dalam survei tersebut, pertama ia meminta seluruh RS yang disurvei untuk mencari cara atau rencana aksi untuk penghapusan alat medis atau alkes berupa termometer, tensimeter, tambal gigi dan lainnya yang mengandung merkuri.
"Alat medis berbahan merkuri itu sangat berbahaya karena mengandung racun," ujarnya.
Kedua, meminta mereka untuk mengubah, mengurangi atau mengganti incinerator (alat pembakaran sampah) medis dengan teknologi yang tanpa membakar atau sistem sterilisasi.
Baca: Lionel Messi Menyesal Barcelona Hanya Menang 3-0 atas Liverpool, Mengapa?
Baca: Utipro Bali Raih 6 Medali Emas di Kejurnas Taekwondo Piala Bergilir Kapolres Semarang
Namun, semua RS menolak untuk melakukan penanganan limbah medis selain dengan incinerator.
Kenapa menolak? Karena mereka masih mengikuti peraturan di KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) yang menilai RS harus membuang limbah medis melalui incinerator.
"Jadi mereka tidak mau izin lingkungannya dicabut. Di KLHK ada peraturannya untuk limbah medis yang infeksius harus dibakar," ujarnya.
Akan tetapi, biaya untuk mengoperasikan incinerator sangat mahal.
RSUP Sanglah Denpasar mempunyai incinerator besar, karena ada sumbangan dari Australia setelah kejadian Bom Bali tahun 2002.
Karena kapasitas incinerator yang dimiliki RSUP Sanglah sangat besar, maka RSUP Sanglah menerima sampah atau limbah medis dari RS-RS kecil dan puskesmas-puskesmas.
"Jadi, saat itu setiap limbah dari RS kecil ataupun puskesmas diangkut semua dan kemudian dibakar di RSUP Sanglah. Ada alat angkutnya sendiri," ungkapnya.
Baca: TRIBUN WIKI - 5 Fakta Tragedi Bom Bali I: Kronologi hingga Pelaku Amrozi Cs
Baca: Raih Medali Perak Kejuaraan Atletik Asia, Lalu Muhammad Zohri Pecahkan Rekor Nasional
Akhirnya, RSUP Sanglah pun kewalahan, karena terlalu banyak RS kecil dan puskesmas yang mengoper limbah medisnya di RSUP Sanglah.
"Akhirnya sekitar tahun 2011 atau 2012, RSUP Sanglah tidak mau menerima lagi limbah medis dari tempat-tempat lain, karena RSUP Sanglah juga kewalahan dengan limbah medisnya sendiri," jelasnya.
"Ya terus dibawa kemana limbah medis tersebut, inilah yang kemudian menjadikan Bali kritis soal limbah medis. Sebetulnya tidak hanya di Bali saja, tapi seluruh Indonesia," tambahnya.
Menurut aturan, jika RS tidak memiliki incinerator, maka limbah medisnya bisa dioperkan ke RS lain yang memiliki incinerator.
Apabila sama sekali tidak ada RS yang memiliki incinerator, kata dia, semestinya limbah medis dibuang ke fasilitas incinerator milik kota.
Dan seharusnya setiap kota memiliki alat incinerator.
"Itu saja pilihannya. Kalau tidak ada pilihan, ya mereka bisa buang sembarangan. Jadi saya tidak heran kalau ada limbah medis di daerah perkebunan ataupun di aliran sungai," ucapnya.(*)