Keluarga Korban Jembatan Jebol di Baturiti Histeris Saat Pengabenan

Ratusan warga dan keluarga mengiringi jasad I Ketut Sudana (50) dan I Made Budi (50) menuju karang suci Setra Desa Adat Puseh

Penulis: I Made Prasetia Aryawan | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/I Made Prasetya Aryawan
PROSESI PENGABENAN - Ratusan keluarga dan warga menghadiri prosesi pengabenan dua korban jembatan ambruk ke Setra Desa Adat Puseh di Banjar Puseh, Desa Perean, Kecamatan Baturiti, Tabanan, Rabu (8/5/2019). 

Keluarga Korban Jembatan Jebol di Baturiti Histeris Saat Pengabenan

TRIBUN-BALI.COM, TABANAN - Ratusan warga dan keluarga mengiringi jasad I Ketut Sudana (50) dan I Made Budi (50) menuju karang suci Setra Desa Adat Puseh, Banjar Puseh, Desa Perean, Kecamatan Baturiti, Tabanan, Rabu (8/5/2019) siang.

Mereka merupakan dua krama Subak Palian yang menjadi korban jebolnya jembatan penghubung Banjar Puseh dan Banjar Bunyuh, Selasa (7/5/2019) pagi.

Proses pengabenan kedua korban dilangsungkan berbarengan.

Sekitar pukul 13.15 Wita, dua jenazah korban dibawa beriringan dari rumah duka masing-masing menuju setra.

Selanjutnya, kedua jenazah dilakukan pengabenan.

Menurut Kelian Dinas Banjar Puseh, I Nyoman Suda, prosesi pengabenan ini sudah sesuai kesepakatan keluarga korban.

"Hari ini (kemarin, red) baru upacara swasta geni atau makingsan di geni, artinya prosesi nyekahnya belum," ujar Suda, Rabu (8/5/2019).

Sebelum upacara, kata dia, para krama banjar setempat dibagi tugas untuk membuat upakara.

Krama istri tempek danginan (timur) membantu membuat upakara di rumah duka I Made Budi, sedangkan krama istri tempek dauhan (barat) membantu membuat upakara di rumah duka I Ketut Sudana.

Prosesnya pun berjalan lancar hingga pengabenan.

“Sesuai dengan sima dresta di sini, semua upakara dibuat oleh krama banjar,” jelas Suda. 

Sebelumnya, pada Selasa (7/5/2019) sore sekitar pukul 16.00 Wita, warga setempat juga sudah melakukan upacara penebusan di lokasi kejadian.

"Kemarin pasca kejadian kami sudah melaksanakan upacara penebusan. Jadi upacara itu sesuai kepercayaan untuk memanggil roh korban untuk diajak pulang dan diaben," ujarnya.

Disinggung mengenai biaya upacara pengabenan apakah ditanggung karena merupakan korban bencana, Suda menyatakan pembicaraan dengan keluarga korban masih belum menuju ke arah biaya.

Baca: Penerapan E-Ticketing di Tanah Lot Belum Jalan, Tiket untuk Pemedek Dinilai Perlu Dipikirkan

Baca: Tertimbun 15 Menit, Dampuk Selamat dari Maut, Sempat Khawatir Beton di Atas Kepalanya Jatuh

Namun, pihaknya sudah mengajukan dan melengkapi surat yang diperlukan untuk dikirim ke BPBD Tabanan.

“Yang jelas segala kelengkapan surat-surat administrasi seperti KTP, KK, ahli waris sudah kami ajukan dan kirimkan ke BPBD,” tandasnya.

Untuk diketahui, mendiang I Ketut Sudana meninggalkan seorang istri, Ni Ketut Lastini (46), dan dua anaknya, I Wayan Aristiawan (25) dan Kadek Ani Puspita Dewi (18).

Sedangkan kepergian I Made Budi juga meninggalkan seorang istri, Ni Made Nyadri (47), dan dua orang anaknya Ni Wayan Rita Riani (26) dan I Made Suardana (20).

Selama prosesi pengabenan kemarin, istri dan anak-anak dari kedua korban pun tampak histeris. Mereka terus menangis sejak jenazah dibawa dari rumah duka hingga setra.  

Dampuk Sempat Tertimbun 15 Menit Sebelum Akhirnya Diselamatkan Warga Sekitar

Keajaiban hidup dirasakan I Wayan Dampuk.

Tertimbun lumpur hingga 15 menit saat peristiwa jembatan ambruk, Pekak Dampuk lolos dari maut.

Dampuk pun bersyukur bisa selamat, namun masih menyisakan trauma.

Ia terus merasa terbayang-bayang dengan kejadian nahas di banjarnya, apalagi dua temannya meninggal dunia.

“Ketika kejadian saya bertiga terjun ke bawah. Saya tertimbun lumpur hingga di bagian pinggang, tidak bisa menarik kedua kaki yang tertimbun lumpur yang sangat lengket saat itu. Kira-kira 15 menit saya di bawah,” tutur Dampuk saat ditemui di rumahnya, Banjar Puseh, Desa Perean, Baturiti, Tabanan, Rabu (8/5/2019).

Pria berusia 61 tahun ini adalah satu-satunya korban selamat dalam peristiwa maut jembatan ambruk di Desa Perean, Selasa (7/5/2019) pagi.

Kejadian itu merenggut dua korban jiwa, yaitu I Ketut Sudana atau Pan Aris (50) dan I Made Budi (50).

“Saat saya tertimbun itu, dua teman saya yang jadi korban sudah tidak kelihatan karena tertimbun material jembatan dan lumpur. Saya hanya sempat lihat tangan Pan Aris bergerak, bagian tubuh lainnya sudah tidak terlihat,” tambah Wayan Dampuk, ketika ditemui menjelang melayat ke rumah duka Made Budi.

Ia pun menuturkan bagaimana ihwal peristiwa maut tersebut.

Baca: Perhitungan Suara Sementara Pilpres 2019 Pagi Ini, Suara Masuk 73,14 Persen

Baca: Perbandingan 2 Calon Ibu Kota Baru Bukit Soeharto dan Gunung Mas Menurut Jokowi

Awalnya, kata dia, krama Subak Palian sedang melaksanakan gotong royong untuk perbaikan jalan subak termasuk jalan di atas jembatan yang menghubungkan Banjar Puseh dengan Banjar Bunyuh, Desa Perean.

Saat itu, dirinya, Pan Aris, dan Made Budi berdampingan sedang fokus bekerja meratakan tanah di atas jembatan sembari mengobrol dengan posisi menghadap ke timur.

Namun, ketika sedang fokus meratakan tanah timbunan di atas jembatan itu, badan jembatan justru amblas. Ketiganya pun jatuh ke jurang alias pangkung.

“Belum ada satu jam bekerja, saya sempat melihat ada retakan tanah, tapi seketika saja kemudian jebol dan saya merasa sudah di bawah. Mungkin di bawah jembatan itu kosong. Saya sempat teriak-teriak minta tolong,” ungkapnya.

Rasa panik dan cemas pun menghampiri Wayan Dampuk yang terperosok ke jurang.

Apalagi saat berada di bawah, pas di atas kepalanya juga ada beton badan jembatan yang cukup besar yang hampir jatuh.

“Untung saja tidak sampai jatuh karena masih merekat dengan besi yang ada pada beton itu. Jika itu jatuh, mungkin saya juga sudah tertimbun dengan dua rekan lainnya,” kisahnya dengan tatapan menerawang.

Ditolong Gadra dan Pak Balik

Dampuk menyatakan, setelah berada di bawah ia tak melihat dua rekannya.

Namun sempat melihat satu tangan Pan Aris bergerak-gerak, sedangkan Pan Rita (Made Budi) sudah tak terlihat karena tertimbun.

Setelah itu, ada dua orang krama subak yang mencoba menolong namun kesulitan untuk turun ke bawah karena cukup tinggi.

Mereka kemudian mengambil tangga untuk turun ke lokasi.

Setelah berhasil turun, kedua orang krama subak ini, I Wayan Gadra warga Banjar Puseh dan Pak Balik dari Banjar Bunyuh, langsung melakukan pertolongan terhadap Ketut Sudana (Pan Aris).

Baca: Usai Gagal Dua Turnamen, Kini Bali United Target Papan Atas dan Juara Liga!

Baca: Warning For Teco! Yabes Tanuri Evaluasi Pelatih & Pemain Usai Bali United Gagal di Dua Turnamen

Mereka mengeruk material bangunan dan lumpur menggunakan tangan.

Kira-kira posisi Pan Aris saat itu satu meter dari Dampuk.

Kedua orang ini terus berusaha untuk melakukan pertolongan hingga akhirnya bagian kepala Pan Aris terlihat.

Namun sayang, korban ternyata sudah tak bernapas.

“Karena saya masih bisa bernapas, yang lebih duluan ditolong Pan Aris karena tangannya sempat bergerak tapi sekujur tubuhnya sudah tertimbun. Mereka tolong sambil teriak-teriak memanggil nama Pan Aris. Maksudnya agar ia bisa bernapas saja, tapi ternyata setelah kelihatan kepalanya ia sudah meninggal dunia,” ungkapnya.

Setelah itu barulah Wayan Dampuk ditolong oleh keduanya.

Dengan sekuat tenaga mereka mengeruk lumpur yang menimbun bagian pinggang hingga kaki Pekak Dampuk.

“Pinggang saya kemudian ditarik oleh Pak Gadra dan Pak Balik,” kenangnya.

Setelah berhasil keluar dari lumpur yang menimbun, ia kemudian naik ke atas dengan naik tangga.

Sementara dua krama subak yang menolongnya masih berada di bawah untuk mengevakuasi Pan Aris ke atas. 

“Selama tertimbun saya tidak merasakan sakit, tapi tidak bisa bergerak karena lumpur yang sangat lengket. Tapi kalau saya tidak ditolong dua orang itu saya tidak bisa juga keluar dari sana,” tuturnya.

Masih Trauma

Sehari pasca kejadian tersebut, ia pun merasa trauma.

Bahkan, ketika ia tidur malam, sekitar pukul 00.00 Wita, ia tiba-tiba terbangun dan selanjutnya tidak bisa tidur lagi.

Perasaannya campur aduk.

Pekak Dampuk terus kepikiran dengan kejadian maut tersebut. Ia terus merasa terbayang-bayang dengan kejadian yang merenggut nyawa dua rekannya itu.

Ada perasaan bersalah menghinggapi dirinya saat dua rekannya meninggal dunia.

“Kemarin perasaan saya tidak enak. Kenapa teman saya sampai seperti itu (meninggal dunia),” sesalnya.

Namun, kata dia, saat ini kondisinya sudah cukup baik meskipun masih kerap terbayang dengan peristiwa maut yang dialaminya.

Bahkan ia juga sudah bisa beraktivitas seperti biasa dan sempat mengikuti prosesi pengabenan dua rekannya.

“Kemarin saya juga sudah sempat diperiksa oleh petugas medis dari puskesmas. Mereka menyatakan kesehatan saya masih baik seperti tensinya normal, kesehatan jantungnya juga masih normal,” tandasnya.

Di sisi lain, salah satu anak Wayan Dampuk, Ni Made Arnawati (33), sempat terkejut saat mendengar informasi bahwa ayahnya  turut menjadi korban jebolnya jembatan.

Ia pun panik karena informasi tersebut, namun beberapa waktu kemudian ia lantas mendengar informasi bahwa ayahnya selamat dari maut.

“Saya sangat kaget sekali dengan kabar tersebut, apalagi bapak saya dikabarkan menjadi korban. Tapi untungnya informasi berikutnya bapak saya selamat,” ucap wanita yang sehari-hariya menjadi pedagang sayur di Pasar Agung Baturiti ini.

(*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved