Pertanian Organik Harus Dimulai dari Hulu ke Hilir, Dewan Usulkan Pemerintah Beri Subsidi Hasil
Sistem Pertanian organik merupakan salah satu bagian dari penerapan pertanian yang berkelanjutan
Penulis: Wema Satya Dinata | Editor: Irma Budiarti
Pertanian Organik Harus Dimulai dari Hulu ke Hilir, Dewan Usulkan Pemerintah Beri Subsidi Hasil
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sistem Pertanian organik merupakan salah satu bagian dari penerapan pertanian yang berkelanjutan.
Melalui penerapan sistem organik diharapkan ada multi manfaat bagi lingkungan, khususnya tanah dan air selain udara, bagi kesehatan manusia, bagi kehidupan flora dan fauna di dalam dan sekitar wilayah organik, memberikan jaminan aktivitas mikroorganisme yang bermanfaat bagi lingkungan itu sendiri, termasuk komoditas pertanian yang diusahakan oleh petani.
Akademisi pertanian sekaligus Rektor Universitas Dwijendra, DR Gede Sedana mengatakan penerapan sistem organik harus dilakukan secara terpadu dari hulu sampai ke hilir.
“Misalnya bisa diawali dari penyediaan benih dan atau bibit organik, penggunaan sarana produksi (pupuk, pestisida) organik, pengelolaan irigasi yang bebas dari polusi kimiawi sampai masa proses pengolahan dan penyajian produk-produk pertanian,” kata Sedana di Denpasar, Kamis (9/5/2019).
Sedana menerangkan, sistem pertanian organik paling sedikit mencakup beberapa subsistem seperti subsistem hulu, subsistem onfarm dan subsistem hilir yang dikelola secara inclusive business.
Keberlanjutan penerapan sistem pertanian organik ini perlu memperhatikan ketersediaan bahan baku untuk sarana produksi secara lokal, teknologi budidaya pertanian organik, hingga pascapanen termasuk pemasaran produk pertanian organik tersebut.
Baca: Waspada Gelombang Tinggi Capai 4 Meter di Beberapa Wilayah Bali, Begini Imbauan BMKG Denpasar
Baca: Sosok Faisal Nasimuddin, Pria Yang Dikabarkan Dengan Luna Maya Bukan Orang Biasa, Ini Kekayaannya
Aspek pemasaran ini menyangkut perilaku konsumen serta harga produk yang akan diterima petani produsen baik melalui pedagang perantara maupun langsung dari konsumen.
“Pemerintah harus menjamin keberlanjutan integrasi antar subsistem melalui subsistem penunjang seperti regulasi, penyuluhan, finansial dan lain-lain,” terangnya.
Selain itu, kata dia, masyarakat juga perlu diberikan edukasi yang berkenaan dengan pertanian organik dan konsumsi produk-produk organik guna menjamin gayung bersambut antara supply dan demand-nya.
Sebelumnya Ketua Komisi IV DPRD Bali, Nyoman Parta mengusulkan agar dalam raperda tentang pertanian organik dicantumkan tentang bab perlindungan terhadap petani.
“Sesungguhnya persoalan petani itu tidak hanya persoalan produk, apakah dia organik atau anorganik. Persoalannya adalah tidak adanya keberpihakan negara terhadap petani,” tegasnya.
Parta berharap agar dalam raperda diatur tentang subsidi tentang hasil pertanian.
Terlebih lagi jika petani mengembangkan sistem pertanian organik maka ditengarai biaya yang harus dikeluarkan akan menjadi lebih tinggi.
Baca: Dukung Birokrasi Bersih, Lanal Denpasar Canangkan Pakta Integritas dan Zona Bebas Korupsi
Baca: Mengerikannya Pengalaman Pasien Yang Bangun Saat Operasi Besar Rasanya Seperti Dikubur Hidup-Hidup
Maka dari itu, dalam raperda perlu diatur terkait perlindungan petani berupa subsidi hasil, bukanlah subsidi awal.
Menurutnya, selama ini petani diberikan subsidi awal berupa pupuk, bibit dan alat-alat pertanian.
Dan dalam prakteknya tidak membuat petani sejahtera karena banyak bantuan yang tidak tepat sasaran dan tidak tepat guna.
“Contohnya seperti di daerah Kintamani, saya banyak menemukan traktor-traktor besar, yang sebenarnya tidak cocok untuk medan Kintamani, tapi barang-barang seperti itulah yang sampai di Kintamani. Hal-hal seperti ini artinya ada bantuan tapi tidak tepat guna,” ujar Parta mencontohkan.
Apa itu subsidi hasil?
Adalah subsidi yang diberikan untuk memastikan petani mendapat uang atau hasil saat panen.
Parta menceritakan bahwa ibunya merupakan seorang petani cabai.
Pernah beberapa waktu lalu harga cabai mahal hingga tembus Rp 100 ribu, sehingga ada perasaan sumringah ibunya karena berpikiran akan mendapat keuntungan yang besar.
Namun tak berselang lama situasi itu menjadi ramai di media, sehingga akhirnya Pemerintah melakukan operasi pasar.
Pemerintah, seperti Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, Bulog melakukan operasi pasar.
“Akhirnya harganya menjadi Rp 20 ribu, menangis memen tiange (Ibu saya). Akhirnya negara pun memusuhi dia (petani red). Ketika dia panen negara memusuhi,” tuturnya.
Baca: Meskipun Kondisinya Sehat, Ketut Budi Arta Bangga Menjadi Peserta JKN-KIS
Baca: Gede Wira Koleksi 70 Piala, Rajin Ikut Lomba Menggambar dan Mewarnai Sejak Setahun Lalu
Menurutnya, cara membuat petani sejahtera bukanlah berada pada persoalan produksinya, namun lebih pada persoalan adakah kepastian petani itu mendapat uang atau hasil ketika dia panen, baik produknya berupa organik ataupun anorganik.
“Kalau seperti ini terus, petani akan segini-segini saja. Dan ketika petani tidak berkembang kehidupannya, maka dipastikan kita tidak akan bisa mengerem alih fungsi lahan di Bali,” imbuhnya.
Ditambah lagi, Petani yang masih ada di Bali saat ini adalah petani yang sudah berumur, sedangkan petani yang muda-muda sudah tidak ada lagi.
Anggota Komisi II DPRD Bali, Gede Kusuma Putra mengatakan sistem pertanian organik tidak mungkin bisa diterapkan secara serentak di Bali.
“Tolong dimulai dari hulu, contoh Jatiluwih, jangan coba-coba memulai di hilir. Kalau dimulai dari hilir, ketika di hulu air sudah tidak organik karena ada pestisida maka tidak bisa,” kata Kusuma Putra.
Menurut dia, di Jatiluwih masih bisa dikembangkan pertanian organik karena sumber air masih pure(murni) dan belum ada kontaminasi zat kimia.
Disamping itu peralihan dari sistem pertanian organik ke anorganik pasti ada masa transisi, yang menyebabkan produksi petani menurun dan hasil petani akan jeblok, sehingga perlu ada subsidi atau pengganti yang biayanya cukup besar.
“Kalau itu gak ditalangi atau dibayar ,jelas petani tidak mau diajak ke organik, dan akan tetap bertahan pada posisi nyaman. Manakala dia mau ke posisi tidak nyaman ‘sementara’ ini harus kita support supaya petani bisa beralih ke organik,” usulnya. (*)