Serba Serbi

13 Upacara yang Mesti Dilaksanakan Orang Bali, Dari Dalam Kandungan hingga Meninggal

Kehidupan masyarakat di Bali khususnya yang beragama Hindu tidak lepas dari yang namanya upacara yadnya.

Penulis: Putu Supartika | Editor: Ady Sucipto
Tribun Bali / Putu Supartika
Ilustrasi upacara yadnya 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kehidupan masyarakat di Bali khususnya yang beragama Hindu tidak lepas dari yang namanya upacara yadnya.

Dari Panca Yadnya, atau lima jenis persembahan, salah satunya merupakan yadnya bagi manusia itu sendiri yang disebut Manusa Yadnya.

Upacara ini dilaksanakan sejak manusia berada dalam kandungan hingga kematian menjemputnya.

Berikut 13 upacara yang harus dilewati oleh manusia di Bali.

1. Magedong-gedongan

Upacara ini merupakan yang pertama dilakukan saat masih berada dalam kandungan yang disebut dengan Magedong-gedongan atau  Garbha Wedana.

Menurut Ida Pedanda Istri Agung Ratni Keniten dari Gria Watu Keniten Monang Maning, Denpasar, upacara ini dilaksanakan saat kehamilan berusia 5 bulan Bali atau 7 bulan kalender. 

Hal ini dikarenakan, saat itu janin yang berada dalam kandungan sudah sempurna. 

Adapun tujuan dari upacara magedong-gedongan ini adalah untuk memelihara keselamatan bayi dalam kandungan.

"Makna dan tujuannya untuk memelihara keselamatan bayi dalam kandungan yang disebut upacara ngidam atau pengerujakin kalau di Bali. Selain itu juga sebagai cara agar kandungan di ibu tidak mudah mengalami keguguran," kata Ida.

Selain itu upacara ini juga bertujuan agar manik atau jabang bayi diproses jadi waras, tidak mudah keguguran, lebih kuat menempel di dalam rahim dan kelangsungan hidup bayi terjamin. 

"Juga bertujuan untuk membersihkan serta memberi keselamatan jiwa si bayi agar beguna bagi masyarakat dan keluarga. Untuk keselamatan diri si ibu, dan agar lancar melahirkan. Upacara ini merupakan upacara pertama saat manusia masih berbentuk janin, yang juga merupakan upacara rohaniah supaya jadi orang berguna di masyarakat kelak jika sudah lahir di dunia," imbuh Ida.

Rangkaian atau eedan upacara magedong-gedongan yaitu, dimulai dengan si ibu yang sedang hamil mandi di kamar mandi atau di sungai.

Saat mandi ini menggunakan bunga sembilan macam.

Usai mandi, si ibu natab banten yang berisi nasi wong-wongan (orang-orangan).

"Nasi itu lantas dihanyutkan di sungai atau kali untuk meminta restu kepada Bhatara Wisnu agar saat melahirkan selamat rahayu," kata Ida.

Kemudian dilanjutkan dengan penglukatan yang dilakukan oleh sulinggih.

Penglukatan ini menggunakan air suci yang berisi bunga 11 macam dengan tujuan agar si ibu beserta cabang bayinya bersih secara jasmani maupun rohani.

"Sehabis penglukatan barulah dilanjutkan dengan metataban (natab) banten megedong-gedongan," lanjut Ida.

Saat upacara inti, menggunakan ikan, dan rumah gedong-gedongan yang terbuat dari janur yang dialasi nempeh.

Sang ibu menjunjung (nyuun) banten gedong-gedongan sambil membawa ikan dibungkus plastik beralaskan daun di tangan kirinya.

Sementara sang suami mengikuti di belakangnya membawa penyukjukan (terbuat dari bambu yang diisi bakang-bakang).

Mereka mengelilingi banten sebanyak tiga kali.

Saat putaran yang ketiga, si suami menusuk 3 kali plastik tersebut hingga ikan tersebut keluar.

Banten pagedong-gedongan ini merupakan simbolik dari perut ibu, yang menggambarkan si bayi beserta saudara-saudaranya (Sang Catur Sanak). 

"Ini sebagai simbol supaya kandungan si ibu menjadi selamat, bayi dalam kandungan selamat sampai pada saat kelahirannya nanti," kata Ida. (*)

2. Kelahiran bayi

Saat bayi lahir ke dunia juga dilaksanakan upacara yang juga sebagai ungkapan rasa syukur.

Si bayi dibuatkan banten yang disebut banten dapetan.

Selain itu, dilaksanakan pula prosesi penanaman ari-ari sang bayi.

3. Kepus Puser

Ketika puser bayi lepas atau kepus juga dilaksanakan suatu upacara yang disebut upacara kepus puser.

Acara ini biasanya dilaksanakan tiga hari setelah bayi lahir.

Saat ini pula dibuat sebuah pelangkiran di atas tempat tidur bayi untuk menaruh sesajen.

4. Ngelepas Hawon

Ngelepas hawon merupakan upacara untuk bayi saat genap berumur 12 hari.

Saat ini, dilakukan pemberian nama sang bayi dan sang catur sanak atau empat saudara yang menemani si bayi dalam kepercayaan Hindu Bali juga berganti nama menjadi Banaspati Raja, Sang Anggapati, Banaspati dan  Mrajapati.

5. Upacara Tutug Kambuhan

Upacara ini digelar 42 hari setelah kelahiran sang bayi.

Tujuannya yakni menyucikan si bayi dan kedua orang tuanya.

Saat ini pulalah nama sang bayi dikukuhkan.

6. Upacara tiga bulanan

Setelah bayi berusia tiga bulan kembali dilaksanakan upacara tiga bulanan atau upacara nelu bulanin.

Dari baru lahir hingga tiga bulan bayi tidak boleh ngenteg tanah (menginjak tanah), sehingga pada upacara tiga bulanan ini untuk pertama kalinya bayi bisa menginjak tanah.

7. Upacara satu oton

Upacara bayi berusia enam bulan disebut dengan upacara satu oton atau ngotonin.

Tujuannya untuk menebus kesalahan terdahulu dikarenakan masyarakat Hindu percaya akan adanya reinkarnasi atau kelahiran kembali, sehingga di kehidupan ini kehidupannya jadi lebih baik.

Saat upacara ini pula untuk pertama kalinya si bayi rambutnya dipotong atau digunduli.

8. Upacara tumbuh gigi

Agar gigi si anak tumbuh dengan baik juga dilaksanakan upacara tumbuh gigi.

9. Upacara Tanggal Gigi

Upacara ini dilaksanakan saat si anak mengalami tanggal gigi pertama kali.

Menurut kepercayaan jika yang tanggal adalah gigi atas maka gigi tersebut ditanam di tanah, dan apabila yang tanggal gigi bawah maka gigi tersebut dilempar ke atas atap rumah.

10. Upacara Rajasewala

Saat beranjak dewasa atau menek daha, dilaksanakan upacara raja sewala.

Sang anak natab banten sesayut raja singa untuk yang lelaki dan sesayut tabuh rah bagi yang perempuan.

11. Mepandes

Mepandes disebut juga dengan upacara potong gigi.

Saat upacara ini, gigi taring diasah sehingga menjadi rata dengan gigi yang lainnya.

Adapun tujuannya yakni mengurangi pengaruh dari sad ripu atau enam sifat keraksasaan atau enam musuh pada diri manusia.

12. Pawiwahan

Pawiwahan disebut pula dengan upacara perkawinan.

Saat ini manusia akan memasuki masa grahasta asrama atau masa berumahtangga.

13. Ngaben

Saat manusia meninggal juga dilaksanakan upacara yakni pengabenan.

Umumnya dalam pengabenan ini dilaksanakan pembakaran mayat walaupun ada beberapa daerah di Bali yang tak mengenal pembakaran mayat.

Tujuan upacara pengabenan ini adalah untuk mengembalikan unsur Panca Mahabuta atau lima unsur pembentuk badan manusia ke asalnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved