Serba Serbi
7 Upacara Hindu untuk Menghormati Lingkungan Hidup
Berikut ini upacara untuk menghormati lingkungan dalam masyarakat Hindu di Bali
Penulis: Putu Supartika | Editor: Irma Budiarti
Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Umat Hindu di Bali memiliki banyak upacara.
Bahkan saban hari tak bisa lepas dari berbagai upacara baik upacara manusa yadnya, dewa yadnya, pitra yadnya, maupun rsi yadnya.
Dari upacara-upacara tersebut juga ada upacara untuk memuliakan lingkungan sehingga tercipta keharmonisan dan keselarasan.
Berikut upacara untuk menghormati lingkungan dalam masyarakat Hindu di Bali.
1. Tumpek Uye
Tumpek Uye juga disebut dengan Tumpek Kandang.
Tumpek Uye ini jatuh setiap enam bulan atau 210 hari sekali tepatnya saat Saniscara (Sabtu) Kliwon wuku Uye.
Selain itu, Tumpek Uye ini juga disebut Tumpek Wewalungan atau Oton Wewalungan.
Dalam Lontar Sundarigama disebutkan, Uye, Saniscara Kliwon, Tumpek Kandang, pakerti ring sarwa sato, patik wenang paru hana upadanania, yan ia sapi, kebo, asti, saluwir nia sato raja.
Ini berarti pada Saniscara Uye merupakan Tumpek Kandang untuk mengupacarai semua jenis binatang baik ternak maupun binatang lainnya.
Upacaranya untuk sapi, kerbau, gajah, dan binatang besar lainnya.

Disebutkan pula, kalingania iking widhana ring manusa, amarid saking Sang Hyang Rare Angon, wenang ayabin, pituhun ya ring manusa, sinukmaning sato, paksi, mina, ring raganta wawalungan, Sang Hyang Rare Angon, sariranira utama.
Upacara maupun bantennya sama seperti mengupacarai manusia karena binatang-binatang itu dijiwai oleh Sang Hyang Rare Angon.
Manusia itu adalah makhluk utamanya daripada binatang-binatang seperti, burung, ikan, dan sebagainya, demikianlah Sang Hyang Rare Angon menjadikan sarwa binatang sebagai badan utama Beliau.
Untuk upakara yang digunakan juga dijelaskan dalam Lontar Sundarigama.
Widi-widanania, suci, daksina, peras, penek ajuman sodaan putih kuning, canang lenga-wangi burat wangi, penyeneng pasucian, astewakne ring sanggar, pengarcane ring sang Hyang Rare Angon. Kunang ring sarwa pasu, patik wenang ane pengacinia, yan sopi kebo, widi-widanania, tumpeng sesayut abesik, penyeneng, reresik, jarimpen canang raka, yan bawi lua, tipat belekok, yan sarwa paksi, sato, itik, angsa, puter, titiran, saluwiring tipat sida purna, tipat bagia, tipat pandawe, dulurane penyeneng tatenus.
Artinya:
Banten untuk ternak jantan yaitu tumpeng, sesayut 1, panyeneng, reresik, jerimpen, canang raka, sedangkan banten untuk ternak betina sama seperti ternak jantan hanya ditambah ketipat belekok blayag, pesor dan untuk bangsa burung atau unggas yaitu ketupat kedis, ketupat sidha purna, bagia, penyeneng, tetebus kembang payas.
2. Tumpek Wariga
25 hari sebelum Hari Raya Galungan atau di Bali disebut selae dina sebelum Galungan, umat Hindu di Bali merayakan Tumpek Wariga.
Tumpek Wariga ini juga bisa dusebut dengan Tumpek Uduh, Tumpek Bubuh, Tumpek Panuduh, Tumpek Pengarah, atau Tumpek Pengatag.
Baca: WN Bulgaria Kepergok Pasang Skimming, Hanya Dikenakan Wajib Lapor
Baca: Menyeruput Secangkir Kopi di M. Aboe Thalib Tabanan, Kedai Legendaris Sejak 1940
Dirayakan setiap enam bulan sekali yaitu pada Saniscara Kliwon wuku Wariga.
Perayaan Tumpek Wariga ini merupakan hari suci pemujaan kepada Dewa Sangkara atau Dewa penguasa kesuburan semua pepohonan dan tumbuhan.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut.
Wariga, saniscara kliwon, ngaran tumpek panuduh, puja kreti ring sang hyang sangkara, apan sira amredyaken sarwa tumuwuh, kayu-kayu kunang.
Ini artinya pada wuku Wariga, Sabtu Kliwon disebut Tumpek Panguduh, merupakan hari suci pemujaan Sang Hyang Sangkara, karena beliau adalah dewa penguasa kesuburan semua tumbuhan dan pepohonan.

Pada saat ini masyarakat Hindu di Bali akan melaksanakan upacara untuk pepohonan dengan menggantung tipat taluh pada pepohonan dan juga banten.
Lebih lanjut untuk sesajennya disebutkan sebagai berikut.
Widhi widananya, pras, tulung sasayut, tumpeng, bubur, mwah tumpeng agung 1, iwak guling bawi, itik wenang, saha raka, panyeneng, tatebus, kalinganya, anguduh ikang sarwa ning taru asekar, awoh, agodong, dadi amreta ning urip. Rikang wwang, sasayut nyakra gni 1, maka pangadang ati, anuwuhaken ajnana sandhi.
Artinya:
Adapun sesajen yang dihaturkan berupa peras, tulung sasayut, tumpeng, bubur, tumpeng agung 1, babi guling atau boleh juga guling itik, disertai jajan, panyeneng, tatebus.
Hal ini bermakna untuk memohon keselamatan tanaman agar dapat berbunga, berbuah, dan sesajen berupa sesayut cakragni 1 sebagai simbol penguatan hati dan pikiran untuk menumbuhkan kekuatan batin.
Selain itu dalam pelaksanaannya ada mantra yang diucapkan yaitu: kaki kaki, i dadong dija? Dadong jumah gelem kebus dingin ngetor.
Ngetor nged, nged, nged, nged, buin selae lemeng Galungan, mebuah apang nged.
Baca: Suster Clementia Kaget Temukan Bayi dalam Tas, Digantungkan di Pintu Pagar Panti Asuhan Sidhi Astu
Baca: Aming Berharap Nikahi Evelyn Kembali, Semoga Dramanya Happy Ending Ya
Hal ini bermakna sebagai ungkapan rasa syukur atas rahmat yang dilimpahkan berupa tumbuhan yang subur sekaligus sebagai pengharapan semoga tumbuhan yang berbuah akan berbuah lebat yang akan dipakai sesajen saat Galungan.
Menurut Kelihan Penggak Men Mersi, Kadek Wahyudita, dahulu biasanya tumbuhan yang diupacarai adalah tumbuh-tumbuhan seperti kelapa dan tumbuhan buah-buahan.
Tumbuh-tumbuhan ini biasanya tumbuh di pekarangan atau tegalan masyarakat.
"Akan tetapi kini seiring dengan laju perkembangan jaman, khususnya di kota, masyarakat tidak lagi memiliki teba sehingga sangat jarang dijumpai pohon berbuah yang diupacarai pada saat tumpek bubuh. Dampaknya tumpek bubuh secara perlahan mulai tidak dipahami maknanya oleh generasi kekinian," katanya.
Namun menurutnya dengan konsep tanaman buah dalam pot (tabulapot) masyarakat bisa memanfaatkan pekarangannya yang tidak terlalu luas untuk menanam tanaman buah.
Dengan demikian masyarakat juga bisa melaksanakan perayaan Tumpek Wariga di perkotaan walaupun tidak memiliki tegalan.
3. Upacara Wana Kertih
Upacara ini merupakan bentuk keharmonisan antara manusia dengan alam atau lingkungan.
Upacara Wana Kertih merupakan upacara untuk memuliakan hutan maupun gunung.

Hal ini dikarenakan manusia sadar bahwa hutan memiliki peranan penting dalam kehidupan dan dianggap sebagai paru-paru dunia karena pepohonan di hutan sebagai pemasok oksigen.
Dalam lontar Bhuwana Kosa VIII, 2-3 dikatakan bahwa hutan merupakan sumber penyucian alam dimana patra (tumbuh-tumbuhan) dan pertiwi (tanah) merupakan pelebur dari segala hal yang kotor di dunia ini
4. Upacara Danu Kertih
Upacara Danu Kertih ini biasanya dilaksanakan dengan melakukan upacara pekelem di danau.
Selain itu ada juga ritual melasti ke danau.

Tujuan upacara ini yakni untuk menjaga kelestarian sumber air, baik mata air (klebutan), sungai, danau, dan lainnya.
5. Upacara Jagat Kertih
Upacara untuk keharmonisan di bumi.
Baca: Ismaya Kembali Diringkus Polisi, Kapolresta Denpasar: Masih Penyelidikan Lebih Lanjut
Baca: PDIP Investigasi Kasus Pemukulan Anggota Dewan, Hari Ini Polda Panggil Kadek Diana
Yang dalam hal ini tanah merupakan tempat berpijaknya manusia, bercocok tanam, sehingga bisa menghasilkan sesuatu yang berguna bagi manusia.
6. Upacara Samudra Kertih
Upacara ini bertujuan untuk menjaga kelestarian laut beserta isi di dalamnya.

Berbagai upacara dilakukan di laut semisal upacara pekelem, melasti, maupun nangluk merana.
7. Nyepi
Dalam perayaan Nyepi di Bali ada yang namanya catur brata penyepian atau empat pantangan yang tak boleh dilakukan.
Amati geni tidak menghidupkan api, amati karya tidak bekerja, amati lelungan tidak bepergian dan amati lelanguan atau tidak bersenang-senang.

Sehingga dalam sehari atau 24 jam alam-alam benar 'diistirahatkan'.
Tanpa ada polusi yang mengganggu, dan tanpa ada kebisingan sehingga yang ada hanya kedamaian. (*)