Putu Setia Menjarit Tragedi Dukana Masa Lalu dalam Lentera Batukaru
Kisah ini diawali dengan seorang politisi bercelana pendek yang menuliskan kisah getir dari I Wayan Sunawa yang merupakan keponakannya sendir
Penulis: Putu Supartika | Editor: Irma Budiarti
Putu Setia Menjarit Tragedi Dukana Masa Lalu dalam Lentera Batukaru
Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kisah ini diawali dengan seorang politisi bercelana pendek yang menuliskan kisah getir dari I Wayan Sunawa yang merupakan keponakannya sendiri.
Ini adalah kisah yang dijarit dari getirnya tragedi dukana masa lalu, yang menyisakan luka hingga hari ini oleh seorang wartawan senior yang kini jadi pendeta, Putu Setia atau Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda.
Dalam bedah buku yang digelar di Bentara Budaya Bali, Rabu (30/5/2019) malam, penulis menuturkan sekelumit kisah lahirnya novel yang mengambil judul Lentera Batukaru.
Buku ini lahir sebagai semacam 'pesanan' oleh beberapa temannya.
Buku ini pula ditulis berdasarkan otobiografi yang ditulis oleh Putu Setia sebelumnya yakni Wartawan Jadi Pendeta.
"Otobiografi itu saya tulis lima tahun lalu setelah operasi prostat, karena mengira umur tidak akan panjang dan saya menulis pada usia 63 tahun karena tidak yakin bisa berumur 70 tahun," kata Ida.
Buku tersebut mendapat sambutan yang lumayan bagus, namun ada saran dari beberapa temannya di Jakarta untuk mengambil khusus masalah politik yang ada dalam buku tersebut menjadi tulisan baru.
"Teman saya mengatakan tidak banyak orang luar tahu bagaimana anak SMP main politik sampai bunuh-bunuhan. Awalnya saya berpikir itu sangat sulit apalagi yang terlibat masih hidup dan ada di kampung saya," tuturnya.
Namun setahun yang lalu Ida masuk rumah sakit dan di jantungnya harus dipasang dua ring.
Baca: Pergerakan Penumpang di Bandara Ngurah Rai Turun pada H-7 Lebaran 2019
Baca: 13 Fitur Terbaru Whatsapp yang Akan Segera Dirilis, Dari Iklan Hingga Mengecek Keaslian Gambar
"Saya menduga sebentar lagi akan meninggal. Dan 'pesanan' akan saya tulis dalam tempo sesingkat-singkatnya, sehingga ada beberapa bagian di buku otobiografi yang saya ambil untuk novel ini," katanya.
Sementara selebihnya merupakan gabungan antara fakta dan fiksi.
Ida menyamarkan tempat kejadiannya bahkan desanya pun tak disebut dalam novel ini.
Ditulis dengan cara jurnalistik, to the point sehingga si aku selalu terlibat dalam setiap peristiwa yang ada di Lentera Batukaru.
"Ada poin yang ingin saya tawarkan, yakni politik masa lalu agar jadi pelajaran sehingga di masa depan bisa dilupakan. Mari nyalakan lentera untuk menerangi kegelapan masa lalu," katanya.
Buku ini dibahas oleh dua orang narasumber yakni jurnalis senior Bali, Widminarko, dan budayawan Bali Wayan Westa.
Westa memaparkan, buku ini bercerita tentang tragedi pasca 1965 yang merupakan memorabilia kisah kekerasan yang meinmpa keluarga kecil di lereng Batukaru.
"Putu Setia hadir di masa kecil, melihat dan mengalami langsung, sang penulis ikut mewarnai pergerakan dimana ia ditunjuk jadi ketua pemuda," kata Westa.
Penulisan novel ini juga ringan, detail, tak bertele-tele, sehingga pembaca akan merasa seperti diputarkan film masa lalu yang dihadirkan untuk penonton hari ini.
Baca: 6 Pantai Yang Indah Ini Bisa Dikunjungi Saat Libur Lebaran di Banyuwangi
Baca: Badung Puncaki Klasemen, Perolehan Medali Sementara Porjar Bali 2019
Ceritanya juga blak-blakan dan tak mungkin bisa dibaca saat Orde Baru.
"Dan orang Desa Pamalai menyebut PKI di kerumunan, kini mereka dibuat takut membicarakan tragedi 1965 itu," katanya.
Namun ada pertanyaan yang muncul dalam benak Westa, kenapa kisah ini baru ditulis setelah 53 tahun peristiwa tersebut berlalu.
Westa juga menyebut, Putu Setia menuliskan kisah ini hampir tanpa emosi.
Meskipun kisah yang ditulis sangat dekat dengan keluarga yang kena garis, dicap PKI, dibunuh, digotong dan dilempar ke truk atau dibuang entah dimana.
"Cerita-cerita dalam Lentera Batukara dijarit dari tragedi dukana, dimana kematian ditentukan oleh yang berkuasa, politik dan pertarungan ideologi jadi pemicu, seperti kisah Nyoman Mastra dalam kisah anjing menggonggong dini hari," kata Westa.
Noda-doda PKI bisa datang dari siapa saja termasuk hanya menjadi buruh upahan mereka yang ikut PKI.
Dalam pembacaan Lentera Batukaru, Westa juga teringat tentang lontar Bongkol Pengasrian yang menjabarkan tingkahing adiksa, dimana lapisan kulit, ego harus dilepas hingga sang diksa dilekati wangsa pandita dewata atau supaya sang wiku dirasuki rasa kewikuan.
Baca: Petenis Badung, Desak Made Dwi Krisna Suryani Lolos ke Final Porsenijar Bali 2019
Baca: Marko Simic & Pemain Persija Jakarta Tegaskan Butuh Kerja Keras Menghadapi Seorang Coach Teco
"Mungkin inilah ziarah melepas itu yang dilakukan Putu Setia, termasuk melepas pengalaman kelam dalam kehidupan. Cerita sekelam apapun sebaiknya ditulis dan tidak bertujuan memperkeruh, supaya persitiwa kelam tidak terulang kembali di masa depan," katanya.
Sementara Widminarko mengisahkan tentang pertemuannya dengn Putu Setia di tahun 1966.
Bahkan di antara mereka sempat terjadi 'persaingan' dalam hal menulis, dimana Widminarko sempat dikalahkan oleh Putu Setia dengan menjadi juara pada event menulis tingkat nasional.
Sebagai seorang yang dulu sempat menjadi anggota partai PNI, Widminarko menuturkan bahwa kisah G30S di Bali merupakan dendam sebelummnya antara PNI dengan PKI.
"Hingga setelah 30 September penangkapan, penahanan dan pembunuhan yang dilakukan tentara dibantu PNI. Bahkan golongan Soekarnois juga jadi sasaran oleh tentara dan banyak PNI tidak menyadari itu," katanya.
Widminarko mengatakan ada golongan-golongan yang sentimen yang ditulis dalam buku Putu Setia.
"Ada sentimen, bahkan sentimen pribadi sampai menyebabkan pembunuhan. Cuma aneh, di tempat Pak Putu ada ketua PKI yang tidak dibunuh, hanya ditahan dan kembali ke desa. Tapi anak yang tidak tahu menau tentang PKI, yang hanya ikut kerja bakti, ngayah, atau gotong royong acara PKI ikut terbunuh," katanya.
Ia pun menceritakan sasaran Orde Baru saat itu yakni menghapus peran partai politik karena dianggap parpol saat itu sudah gagal.
Selain itu sasarannya yakni memotong jaringan kharismatik Bung Karno dengan rakyat. (*)