Pentas Musik Berlatar Hamparan Sawah Sehabis Panen, Melali Bareng Musisi Sembari Belajar Ekologi
Gitaris band grunge, Navicula dan vokalis band folks Dialog Dini Hari (DDH) kali ini bermain musik di tengah sawah yang baru saja dipanen
Penulis: Putu Candra | Editor: Widyartha Suryawan
Penampilan Dadang tersebut merupakan bagian dari kegiatan Melali Bareng Musisi yang digelar media jurnalisme warga BaleBengong.
Tidak sekadar melali atau jalan-jalan, kegiatan ini juga dimaknai dengan diskusi perihal ekologi dan budaya.
Acara ini juga bagian dari rangkaian Anugerah Jurnalisme Warga (AJW), agenda tahunan media nirlaba yang berdiri sejak 2007 itu.
AJW 2019, yang diadakan keempat kalinya sejak 2016 lalu, mengambil tema Jer Basuki Mawa Desa. Tema ini memaknai ulang filosofi bahwa setiap keberhasilan memerlukan usaha.
"Kami ingin menyampaikan kabar-kabar baik dan inspiratif dari desa ke skala lebih luas," kata Iin Valentine, panitia AJW 2019.
Iin menambahkan, AJW tahun ini dilaksanakan bersama Combine Resource Institution (CRI), organisasi non-pemerintah berbasis di Yogyakarta yang mendampingi komunitas pedesaan dalam pengelolaan informasi.
“Karena kami percaya bahwa di tengah maraknya kabar-kabar bohong (hoax) yang begitu masif di internet, kami ingin mengabarkan bahwa ada warga yang berdaya memproduksi kabar baik tentang komunitasnya,” kata Iin yang juga mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Udayana.
Beri Perspektif Baru
Melali Bareng Musisi diadakan di dua lokasi yaitu Dusun Pagi di Tabanan dan Desa Nyuhtebel, Kecamatan Manggis, Karangasem.
Dusun Pagi merupakan daerah penghasil padi lokal Bali. Beras merah khas Dusun Pagi dengan merek Umawali dihasilkan dari praktik budidaya ekologis dan melalui proses ritual tradisional Bali yang amat memerhatikan keberlanjutan lingkungan.
Adapun Nyuhtebel adalah desa penghasil minyak kelapa di dekat Candidasa, pusat pariwisata di Bali timur.
Melali Bersama Musisi memberikan perspektif baru bagaimana mengenal praktik-praktik ekologis ala Bali sekaligus cara mengapresiasi musik.
Di Dusun Pagi, misalnya, peserta mengobrol dengan Made Jonita, warga Pagi yang membudidayakan burung hantu (Tyto alba) sebagai predator alami untuk hama tikus di dusun.
Burung hantu juga menjadi penanda kualitas lingkungan.
“Kalau ada burung hantu di sebuah tempat, itu berarti kualitas lingkungannya masih bagus. Karena burung hantu hanya hidup di dekat air bersih,” kata Dek Joy, panggilan akrabnya.
“(Perjalanan ini) asyik karena kita jadi belajar lebih tentang ekologi sekaligus budaya Bali dalam pertanian,” kata Dadang.
