Wiki Bali
TRIBUN WIKI: Mengenal Putu Wijaya, Sastrawan Bali yang Serba Bisa
Putu merupakan bungsu dari lima bersaudara yang merupakan putra dari I Gusti Ngurah Raka dan ibunya Mekel Ermawati.
Penulis: Putu Supartika | Editor: Eviera Paramita Sandi
"Kerja itu adalah istirahat kata Plato. Kerja itu bukan beban, kerja itu istirahat. Kalau kamu pekerja setiap kamu mendapat pekerjaan dan menjadi berarti itu membuat kamu istirahat. Kalau itu merupakan tugas maka pekerjaan itu akan jadi beban. Belum bekerja saja sudah lelah pikiran kita karena memikirkannya," katanya.
Ia duduk di atas kursi roda dan tangan kirinya tidak bisa digerakkan, namun semangatnya untuk berkarya masih sangat luar biasa.
"Ketika saya sakit saya meilihat sesuatu yang tidak saya lihat. Aku mendengar apa yang tidak kau katakan. Tuhan mungkin ingin menunjukkan sesuatu kepada saya," katanya.
Ia mengaku tidur kalau sudah mengantuk dan tidak pernah 'main-main' di tempat tidur saat siang.
Menurutnya kalau menulis sambil tiduran akan membuat mata cepat rusak.
Dulu sebelum sakit, sehari duduk dan mengetik dengan mesin tik, sehari ia bisa menulia hingga 40 halaman.
"Sekarang 1 sampai 2 cerpen atau dua bab untuk novel perhari juga bisa satu naskah drama," katanya.
Putu tinggal di Bali sampai umur 18 tahun dan kini ia menetap di Jakarta sembari menulis dan memimpin Teater Mandiri.
Walaupun lama tinggal di luar Bali, tapi ia merasa menjadi orang Bali.
"Di Bali, rasanya terlalu jauh dengan Balu, dan baru keluar saya merasa jadi orang Bali, merasa di rumah ketika pergi, merasa dekat ketika jauh, dan merasa orang Indonesia saat di luar negeri," imbuhnya.
Ia menambahkan karena lahir di Bali maka akan "terkutuk" jadi orang Bali walaupun ia berada di luar Bali.
Putu juga mengatakan bahwa Bali bukan museum.
"Bali itu tradisional tapi modern, modern tapi tradisional. Karena Bali itu memiliki desa kala patra," katanya.
Dan jika Bali itu berubah menyesuailan diri bukan berarti Bali itu hilang, karena Bali masih memiliki falsafah Tri Hita Karana.
Beberapa kali ia menekankan, agar Bali jangan mau dianggap museum dan menurutnya perubahan itu biasa.
"Saya masih tetap dengan teror mental, bertolak dari yang ada. Saya ingin menggangu orang. Caranya menyiksa orang dengan berbagi pemikiran. Saya mengajak mereka terus berpikir," kata Putu. (*)