Ganti Rugi Lahan Shortcut Singaraja-Mengwitani Tak Sesuai, Imam Keberatan Serahkan Lahan Miliknya

Nilai ganti rugi lahan terdampak dari pembangunan jalan baru batas kota Singaraja-Mengwitani (shortcut titik 7-8 dan 9-10) yang ada di wilayah Desa

Penulis: Ratu Ayu Astri Desiani | Editor: Ady Sucipto
Tribun Bali/Ratu Ayu Astri Desiani
HARGA TANAH - Imam Muhajir menunjukkan harga pasaran tanah di wilayah Dusun Kubu, Desa Pegayaman, Buleleng. Muhajir tak puas nilai ganti rugi dari tim appraisal untuk pembangunan shortcut, Minggu (29/12/2019). 

TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Nilai ganti rugi lahan terdampak dari pembangunan jalan baru batas kota Singaraja-Mengwitani (shortcut titik 7-8 dan 9-10) yang ada di wilayah Desa Wanagiri, Gitgit, dan Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng, telah diumumkan, Minggu (29/12), di Gedung Kesenian Gede Manik Singaraja.

Hasilnya, dari pengumuman ini ada beberapa warga yang terdampak merasa tidak puas dengan penilaian yang diberikan oleh tim appraisal, sehingga mereka enggan menyerahkan lahan miliknya kepada pemerintah.

Dari pantauan Tribun Bali, salah satu warga yang merasa keberatan dengan nilai ganti rugi yang diberikan oleh tim appraisal adalah Imam Muhajir.

Pria berusia 62 tahun ini mengatakan lahan miliknya yang terdampak dari pembangunan shortcut titik 7-8 dan 9-10 ini seluas 1,5 are. Lahan tersebut digunakan oleh Muhajir sebagai perkebun cengkih.

Di atas lahan terdampak itu ada sebanyak 15 pohon cengkih.

Berdasarkan penilaian tim appraisal, nilai ganti rugi terhadap lahan milik Muhajir hanya sebesar Rp 30 juta.

Ditambah total ganti rugi untuk 15 pohon cengkihnya Rp 15 juta.

Padahal, sebut Muhajir, harga pasaran tanah di daerah miliknya, yakni di Dusun Kubu, Desa Pegayaman, mencapai Rp 100 juta per arenya.

Demikian dengan pohon cengkih, setiap pohonnya sejatinya mampu menghasilkan keuntungan mencapai Rp 2,8 juta per setiap musim panen.

Sementara tim appraisal menyebut jika nilai ganti rugi untuk pohon cengkihnya hanya Rp 1 juta per pohonnya.

Merasa jika nilai ganti rugi yang diberikan oleh tim appraisal sangat jauh dari harga pasaran, Muhajir pun mengaku enggan menandatangani surat berita acara, kendati nanti harus berurusan dengan pengadilan (konsinyasi).

"Saya sangat keberatan karena harganya tidak sesuai. Sekarang lahan saya digusur, dibayar hanya Rp 30 juta per are oleh pemerintah. Kemudian saya mau mencari lahan di tempat lain, mana ada yang harganya Rp 30 juta.

Harga tanah yang diganti rugi ini jauh sekali dengan harga pasaran. Mau bagaimana lagi, sudah tidak bisa protes. Saya sih mau-mau saja ke pengadilan," keluhnya.

Seorang warga pemilik lahan di wilayah Dusun/Desa Gitgit, bernama Gede Sumadana (42) juga mengeluh terkait nilai harga lahan yang diberikan oleh tim appraisal.

Namun tak seperti Muhajir, ia memilih pasrah.

Lahan miliknya yang terdampak dari pembangunan jalan ini seluas 8.9 are, ditambah tanaman berupa pohon cengkih sebanyak 18 pohon, kopi 10 pohon, pisang 11 pohon, salak 1 pohon, dan cempaka 1 pohon.

Berdasarkan penilaian tim appraisal, sebut Sumadana, nilai ganti rugi terhadap lahan miliknya Rp 341 juta.

"Harusnya harganya bisa dua kali lipat dari nilai yang diberikan oleh tim appraisal. Di bank saja harga tanahnya per are itu bisa dinilai Rp 60 juta.

Cengkih juga setiap musim panen bisa menghasilkan Rp 15 juta. Saya kecewa berat.

Mau protes bagaimana, pemerintah pasti akan menang saja. Mau bersikeras sudah tidak bisa. Terpaksa diikhlaskan saja," ucapnya.

Tim Appraisal Tak Hadir

Sementara Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah Shortcut titik 7-8 dan 9-10, Komang Wedana, tidak memungkiri ada beberapa warga yang keberatan dengan nilai ganti rugi yang diberikan oleh tim appraisal, utamanya pada nilai tanam tumbuh khususnya pohon cengkih.

Pihaknya pun tidak dapat berbuat banyak, mengingat nilai ganti rugi lahan milik warga tersebut merupakan kewenangan tim appraisal.

Sementara saat pengumuman nilai ganti rugi ini, tim appraisal terpantau tidak hadir.

"Mereka keberatan karena cengkih itu yang dihargai hanya pohonnya saja.

Sementara hasil panennya tidak. Ketika ditebang untuk pembebasan jalan, mereka harus menanam lagi dan 10 tahun kemudian baru bisa dipanen.

Artinya mereka kan harus menunggu 10 tahun lagi, nah itu belum diperhitungkan oleh tim appraisal. Saya juga sangat menyayangkan tim appraisal tidak hadir," jelas Wedana.

Kendati demikian, Wedana mengaku pihaknya akan menampung keluhan para warga ini dan akan diberikan ke pengadilan untuk konsinyasi.

Sementara untuk warga yang sudah setuju dengan nilai ganti rugi yang diberikan oleh tim appraisal, maka biaya ganti ruginya dapat dikirim ke rekening masing-masing mulai Senin (30/12) melalui dana dari Pemerintah Provinsi Bali.

"Nanti pengadilan yang akan menilai berapa yang pantas untuk dibayarkan. Keberatan mereka ini dalam waktu dekat kami kirim ke pengadilan.

Saya belum tahu persis berapa warga yang tidak setuju dengan nilai ganti rugi ini. Besok (Senin) ya akan saya sampaikan berapa jumlahnya," ungkapnya.

Ditemui di lokasi yang sama, Kepala Dinas PUPR Provinsi Bali, I Nyoman Astawa menyebutkan, biaya tahapan pembebasan lahan untuk pembangunan shortcut titik 7-8 dan 9-10 ini sebesar Rp 190 miliar.

Sementara jumlah lahan yang terdampak sebanyak 298 bidang tanah, atau dengan luas mencapai 22 hektare.

Lahan tersebut dimiliki oleh 298 orang, dengan rincian 175 orang dari Desa Pegayaman,115 dari Desa Gitgit, dan 8 orang dari Desa Wanagiri.

"Setelah ganti rugi lahan ini, kami masih memberikan waktu sekitar tiga bulan untuk mereka mungkin untuk memanen hasil perkebunannya, atau persiapan pindah-pindah sambil menunggu tender.

Pengerjaan fisik juga ditarget mulai tiga bulan lagi, oleh pihak kementerian," tutupnya. 

Hari Ini Melaspas Shortcut Titik 5-6

DI sisi lain, progres pembangunan shortcut titik 5-6 yang ada di wilayah Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng, pada Minggu (29/12) sudah 100 persen alias rampung dikerjakan.

Senin (30/12) rencananya akan dilaksanakan upacara melaspas caru yang dihadiri oleh Gubernur Bali, Wayan Koster, serta Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana.

Engginering KSO Adhi Karya Ketut Agus Setiawan menyebutkan, upacara melaspas ini akan diawali dengan upacara Caru Manca Kelud yang dipuput oleh tiga orang sulinggih. Setelah dipelaspas akan dilakukan uji coba layak fungsi.

"Acara difokuskan di jembatan. Biaya mecaru ditanggung Dinas PUPD Bali dan sebagian dari kontraktor," katanya. (*) 

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved