Cerita Orang Indonesia Ketika Perancis Lockdown, Tak Semudah yang Dibayangkan Perlu Persiapan Matang
Perancis salah satu negara yang ikut lockdown atau karantina sendiri untuk menekan penyebaran virus COVID-19.
TRIBUN-BALI.COM - Saat ini sudah ada 8 negara melakukan kebijakan lockdown atau mengisolasi diri dari dunia luar untuk menekan penyebaran virus COVID-19.
Warga Indonesia pun berharap Presiden Jokowi mengeluarkan kebijakan lockdown.
Apakah semudah itu melakukan lockdown? Dan bagaimana dampak lockdown buat negara itu, sudah siapkan pemerintah Indonesia melakukannya?
Perancis salah satu negara yang ikut lockdown atau karantina sendiri untuk menekan penyebaran virus COVID-19. Bagaimana kondisinya?
• China Melaporkan Tidak Ada Kasus Baru Virus Corona Domestik Untuk Pertama Kalinya
• Tak Ada Penjelasan dari Guru Jadi Kendala Resdyanti Belajar di Rumah, Kadisdik: Masih Tahap Adaptasi
• Pemain Bali United Hariono Sebut Lebih Bersemangat Dengan Kelahiran Putrinya
Ada sebuah tulisan yang juga viral dari mantan koresponden Tempo era 1990, Sapta Adiguna atau Lie Che Min orang Indonesia yang tinggal di Paris sampai sekarang.
Dia menjelaskan bagaimana kebijakan lockdown di Perancis. Berikut tulisannya:
PRANCIS DIKARANTINA: LOCKDOWN TIDAKLAH SEMUDAH MENGUNCI PINTU
Senin pagi ini, 16 Maret 2020 semua sekolah dari TK sampai dengan universitas diliburkan.
Mulai Selasa siang, 17 maret 2020, pukul 12.00, karantina diberlakukannya.
Seluruh penduduk Prancis dilarang keluar rumah. Kecuali untuk kebutuhan mendesak: membeli makanan kebutuhan sehari-hari, ke dokter (rumah sakit). Pelanggaran akan didenda.
Kumpul2 di luar, kumpul antar keluarga dan teman dilarang. Pesta pernikahan ditunda.
Dan, yang unik, untuk pertama kalinya: ronde kedua pemilihan walikota terpaksa ditunda. Tapi walikota yang sudah menang di atas 50%, hari minggu kemarin, dianggap sah terpilih.
Karantina ini berlaku untuk dua minggu. Kemungkinan diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.
Keputusan ini tidaklah mudah diambil karena me-lockdown sebuah negara berpenduduk 75 juta tidaklah semudah mengunci pintu rumah - seperti yang banyak dikoar-koarkan, dan diperkirakan oleh orang.
Me-lockdown sebuah negara, bukanlah sebuah perlombaan adu cepat siapa yang memutuskannya - dalam waktu 24 jam - untuk sekadar pencitraan.
Me-lockdown sebuah negara, perlu Persiapan matang, dan makan waktu yang cukup lama: koordinasi dengan semua pihak yang terkait, pertimbangan ekonomi, budget-keuangan, dan logistik agar tidak menimbulkan chaos, dan pemberontakan.
Bisa dibayangkan, bila lockdown diputuskan tanpa persiapan matang: orang berduit berbondong-bondong ke supermarket memborong semua stok makanan... sehingga si miskin tidak kebagian satu kilo beras sekali pun.
Tadi pagi, sebelum Carrefour dibuka, antrean sudah berjubel.
Yang hebat, rupanya Carrefour sudah mengantisipasi menimbun stok makanan yang bakal dibutuhkan bila lockdown terjadi.
Begitu rak-rak makanan hampir kosong, para petugas Carrefour langsung mengisinya kembali.
Sudah hampir dua minggu Carrefour "digempur" , "dijarah" oleh pelangan setianya... tapi.. . stok makanannya kagak habis-habis.
Jadi, bisa dibayangkan betapa kacaunya keadaan, bila logistik tidak dipersiapkan secara matang untuk mengantisipasi lockdown.
Mungkin akan terjadi huru-hara.
Dengan diberlakukannya lockdown, tidak ada lagi imigran Sri-Lanka yang biasa menjual bunga mawar di restoran2 di Champs Elysees.
Tidak ada lagi yang menjual marron bakar ( semacam biji nangka yang dibakar) di kaki Menara Eiffel.
Tidak ada lagi pendatang Afrika (yang fasih berbahasa Indonesia) menawarkan gantungan kunci Menara Eiffel di depan Istana Versailles.
Mereka semua kehilangan matapencahariannya karena sudah tidak ada lagi turis.
Beruntung, mereka masih mendapatkan uang tunjangan sosial untuk perumahan, untuk keluarga dan anak- anaknya.
Para dokter kulit, dokter mata, dokter gigi dilarang menerima pasien anak-anak dan orangtua di atas usia 70 tahun.
Ketika Macron memutuskan meliburkan sekolah dan universitas: Anak2 diberi perkerjaan rumah lewat internet.
Pegawai yang punya anak di bawah 16 tahun dicutikan, agar mereka bisa menjaga anaknya di rumah.
Dan mendapat gaji penuh 100% dari perusahaan.
Kemudian perusahaan menagih ke pemerintah.
President Macron menjamin: segala usaha, enerji akan dikerahkan, sampai kapan pun untuk menjamin gaji 100% kepada para pegawai yang terkena pengangguran teknis.
Pengangguran teknis ini benar- benar bikin kepala ubanan.
Yang punya anak di bawah 16 tahun, kan, juga termasuk para dokter dan perawat.
Apakah para dokter dan perawat yang sedang sangat dibutuhkan tenaganya harus dirumahkan juga?
Pemerintah menjamin akan ada yang menjaga anak- anak para dokter dan suster.
Tapi... para baby-sitter... bagaimana mereka bisa menjaga anak- anak para dokter dan suster?
Karena, tempat penitipan anak tutup. Para babysitter juga ada yang punya anak di bawah 16 tahun, yang harus dijaga di rumah.
Siapa yang menjaga anak2 para babysitter kalau mereka harus menjaga anak2 para dokter dan suster?
Yang juga bikin pusing adalah para pegawai toko, restoran, café, bar... Pemerintah juga harus menjamin 100% gaji mereka.
Belum lagi para pemilik toko, restoran, bar, café... yang kehilangan 100% omsetnya.
Lagi- lagi pemerintah yang harus jamin, bahwa segala macam iuran perusahaan (iuran pengangguran, iuran kesehatan, iuran pensiunan dsb), pajak... pemerintah harus membekukannya.
Kalau iuran tersebut berhenti masuk ke kas negara... bagaimana negara harus membayar para pengangguran, para pensiunan, dan para pasien?
Perusahaan-perusahaan yang tutup, mereka perlu dana segar untuk menjalankan perusahaannya nanti.
Lagi-lagi, pemerintah juga harus menghimbau kepada para bankir untuk meminjamkan duitnya.
Dan pemerintah harus menjamin 100% utang-utang para pengusaha dari tagihan bank.
Pemerintah menjamin utang perusahaan sampai 300 milyar Euros.
Padahal setiap DETIK hutang Prancis bertambah +2 685,70€.
Sekarang, dengan diputuskannya lockdown total mulai Selasa, 17 maret pukul 12H00, skenario berubah lagi.
Semua pegawai diliburkan.
Jadi pemerintah bukan saja harus menjamin gaji para pegawai yang punya anak di bawah usia 16 tahun.
Tapi SELURUH pegawai harus digaji 100%.
Pemerintah juga memutuskan, seluruh tagihan listrik, air, gas dibekukan.
Pembayaran sewa apartemen/rumah ditunda.
President Macron memutuskan cadangan masker akan mulai dibagikan ke seluruh apotik di Prancis - dan diutamakan untuk para dokter dan perawat.
Untuk rumah sakit di kampung-kampung, tentara akan dikerahkan untuk membantunya.
Di daerah di mana Coronavirus merajalela, tempat tidur akan ditambah.
Dan tentara di minta bantuannya untuk memindahkan para pasien.
Jadi...bisa dibayangkan betapa kompleksnya masalah yang harus dihadapi dan ditangani untuk memutuskan lockdown.
Jadi tidaklah gampang sekadar berteriak lockdown... semudah mengunci pintu rumah. (*)