Mengenang Sosok Marsinah di Hari Buruh 1 Mei, Aktivis Buruh yang Tak Mau Mengalah pada Nasib
Kematian Marsinah yang tidak wajar itu mendapat reaksi keras dari para aktivis dan masyarakat luas.
Marsinah anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan, Marsini kakaknya dan Wijiati adiknya, lahir dari pasangan Astin dan Sumini di desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk.
Ibunya meninggal saat ia berusia tiga tahun, dan ayahnya kemudian menikah lagi dengan dengan Sarini, perempuan dari desa lain. Sejak itulah Marsinah kecil diasuh neneknya, Paerah yang tinggal bersama paman dan bibinya, pasangan Suraji-Sini. Tidak ada yang istimewa dari masa kecil Marsinah. Ia tipikal anak perempuan kalangan menengah pedesaan yang hidup subsisten, tidak terlampau miskin, walaupun tidak kaya.
• Sejarah Hari Buruh Internasional atau May Day Yang Diperingati Tiap 1 Mei
Seperti mayoritas anak-anak perdesaan di Indonesia, ia sudah bekerja pada usia dini dan tampak lebih dewasa dari usianya. Bekerja bagi mereka sangat lazim, termasuk kerja upahan di rumah maupun di pabrik.
Sepulang sekolah, ia membantu neneknya menjual beli gabah dan jagung, dan menerima sekadar upah untuk mengangkut gabah dengan bersepeda dari sawah atau rumah orang yang gabahnya sudah dibeli.
Di kalangan teman-teman dan gurunya, di SD Negeri Nglundo, meskipun kepandaiannya dipandang biasa-biasa saja, tetapi kerajinan, minat baca, sikap kritis dan tanggung jawabnya menonjol. Setiap tugas sekolah selalu berupaya diselesaikannya.
Jika ada penuturan gurunya yang kurang jelas, tidak segan ia mengangkat tangan meminta penjelasan. Setelah naik kelas VI, ia pindah ke SDN Karangsemi, dan kemudian melanjutkan ke SMP Negeri V Nganjuk pada tahun ajaran 1981/1982.
• 1 Mei Hari Buruh, Ini Deretan Ucapan Selamat Memperingati Hari Buruh Dalam 2 Bahasa
Di sinilah, sebagaimana harapan banyak anak Indonesia seusianya, cita-citanya terbentuk. Mencoba melanjutkan ke SMA negeri, namun gagal, dan akhirnya ke SMA Muhammadiyah dengan bantuan biaya seorang pamannya yang lain.
Tak mampu kuliah karena terkendala biaya
Di SLTA, minat bacanya semakin meluas. Di waktu senggang ia lebih banyak ke perpustakaan ketimbang bermain. Lagi-lagi seperti banyak gadis desa sebayanya, cita-citanya untuk melanjutkan ke Fakultas Hukum kandas, karena keluarganya tak mampu membiayai kuliah.
• 500 Buruh di Bali Akan Lakukan Aksi Peringatan Hari Buruh Internasional Besok
Tidak ada pilihan lain kecuali mencari lapangan kerja di kota besar. Tahun 1989 ia ke Surabaya, menumpang di rumah kakaknya, Marsini, yang sudah berkeluarga. Setelah berkali-kali melamar kerja ke berbagai perusahaan, akhirnya Marsinah diterima bekerja pertama kali di pabrik plastik SKW kawasan industri Rungkut.
Gajinya jauh dari cukup. Untuk memperoleh tambahan penghasilan ia nyambi jualan nasi bungkus di sekitar pabrik seharga Rp 150 per bungkus. Sebelum akhirnya, tahun 1990, bekerja di PT Catur Putra Surya, Rungkut, ia sempat bekerja di sebuah perusahaan pengemasan barang.
Urbanisasi, berdagang untuk penghasilan tambahan, dan berpindah kerja dari satu pabrik ke pabrik lainnya untuk mendapatkan upah yang lebih layak, merupakan kisah klasik buruh perempuan di Jawa sejak awal dasawarsa 80-an. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenang Sosok Marsinah, Aktivis Buruh yang Tak Mau Mengalah pada Nasib", https://www.kompas.com/tren/read/2020/05/01/132810565/mengenang-sosok-marsinah-aktivis-buruh-yang-tak-mau-mengalah-pada-nasib