Dalam Rangka Perayaan HUT, Suryani Institute Publishing Luncurkan Buku Bincang Psikiater

di buku Bincang Psikiater, Tribunners akan menemukan jawaban yang sekiranya membantu untuk menentukan pilihan karier dan pendidikan atau menikah

Penulis: Ni Kadek Rika Riyanti | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Istimewa
Prof DR dr Luh Ketut Suryani SpKJ (K) bersama sang anak, DR dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana SpKJ (K) MARS, dalam peluncuran buku Bincang Psikiater, Senin (11/5/2020). 

Laporan Wartawan Tribun Bali, Ni Kadek Rika Riyanti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Mendahulukan karier dan pendidikan atau segera menikah?

Pertanyaan itu mungkin pernah bersemayam di benak segelintir orang ketika dihadapkan pada dua pilihan itu.

Terkesan sepele, tapi jujur saja, tidak sedikit yang linglung dibuatnya.

Karier dulu?

Atau menikah dulu?

Baksos Senat Politeknik Nasional Denpasar Peduli Dari Mahasiswa, Untuk Mahasiswa

Amankah Cas Baterai HP di Mobil? Begini Penjelasannya

7 Tempat Terbengkalai di Dunia dengan Kisah Menyedihkan di Baliknya

Menjadi salah satu bab pembahasan di buku Bincang Psikiater, Tribunners akan menemukan jawaban yang sekiranya membantu untuk menentukan pilihan berdasarkan pertanyaan di atas.

Tribunners akan diajak berpikir secara perlahan dan runut namun pasti, dengan memikirkan segala kemungkinan yang ada, serta terasa seperti tengah melakukan konseling langsung dengan ahlinya.

Buku Bincang Psikiater ini diluncurkan oleh dua psikiater kondang Dr. dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ(K), MARS dan Prof. Dr. dr. Luh Ketut Suryani, SpKJ (K) dalam rangka perayaan ulang tahun Suryani Institute for Mental Health ke-15 di masa pandemi Covid-19.

Buku ini lahir dari kumpulan tulisan dua psikiater tersebut di kolom Bincang Psikiater pada Harian Tribun Bali yang diasuh Ni Ketut Sudiani dan terbit setiap hari Minggu.

Berawal dari hasil bincang-bincang sederhana mereka dengan Pemimpin Redaksi Harian Tribun Bali, Sunarko, mengenai meditasi yang disebarkan di masyarakat, kolom Bincang Psikiater ini hadir dengan konsep yang menarik.

Konsep psikiatri yang dianut di buku itu merupakan gabungan konsep Barat dengan konsep masyarakat Bali yang beragama Hindu, kemudian dipadukan dan menghasilkan tulisan yang sarat pengetahuan dan ciamik.

Dr. Cokorda bercerita, setelah beberapa kali pertemuan dan Sunarko mencoba mempraktikkan meditasi yang diajarkan pada masyarakat yang berminat hadir di Wantilan DPRD Bali Renon, tiba-tiba dirinya mendapat penawaran dari Sunarko untuk mengisi rubrik di Harian Tribun Bali, sehingga masyarakat memahami masalah kejiwaan dan tidak meyakini bahwa sekali ia mengalami gangguan jiwa, maka seumur hidup ia menderita gangguan ini.

Kemudian, ide untuk membukukan tulisan tersebut menjadi penting karena tergerak hati dari kedua penulis agar pemikiran tentang masalah kejiwaan di masyarakat bisa dipahami.

Semua orang mempunyai masalah.

Setiap orang mempunyai cara dalam memahami dan menyelesaikan masalah yang dialaminya.

Ada yang melihat masalah yang dialaminya biasa-biasa saja, lalu lewat begitu saja.

Ada yang merasakan sangat dalam sekali sampai sulit keluar dari masalah yang dialaminya.

Namun ada juga yang merasa penuh energi menghadapi setiap masalah yang dihadapinya karena merasa sebagai sebuah tantangan.

“Dalam pengalaman kami sebagai psikiater yang dididik dari ilmu psikiatri berdasarkan konsep Barat, melihat pasien dari sudut fisik dan mental saja. Sedangkan pasien yang kami tangani sebagian besar dari masyarakat Bali yang dibesarkan oleh budaya Bali berdasarkan ajaran leluhur yang kemudian mendapat pengaruh agama Hindu yang datang dari Jawa, pengaruh budaya Cina, Belanda, Jepang, India dan sebagainya,” ungkap Dr Cokorda dalam peluncuran buku yang dirancang secara online di Sekretariat Suryani Institute dalam masa pandemi Covid-19, Senin (11/5/2020).

Sementara itu melalui pandangannya, Prof Luh Ketut Suryani melihat masyarakat percaya bahwa dirinya tidak hanya terdiri dari fisik dan mental saja, tetapi ada yang lebih berperan adalah spirit yang erat hubungannya dengan leluhur, dengan makhluk lainnya selain manusia, dengan alam semesta dan dengan Tuhan, Hyang Widhi Wasa sebagai pencipta.

“Menjalankan hidup di dunia ini memerlukan adanya keseimbangan dengan alam semesta beserta isinya serta Tuhan, Hyang Wdhi Wasa dalam konsep Tri Hita Karana. Kalau ingin apa yang dilakukan bisa diterima dan dipahami oleh masyarakat, maka kami perlu memadukan kedua konsep ini yang bisa memperkaya dan memperluas pemahaman mengenai manusia secara keseluruhan,” tutur Prof Luh Ketut Suryani.

Buku Bincang Psikiater ini mencoba mengajak pembaca untuk membuka pemikiran bahwa semua orang bisa berubah kalau ia mau berubah, semua orang bisa menemukan apa itu bahagia kalau ia mau menjalani hidup ini apa adanya, mau belajar dari pengalaman yang dialaminya, karena pengalaman adalah guru utama selain Tuhan.

Buku ini dirangkai menjadi 6 topik pembicaraan, mulai dari Pendidikan Keluarga, Memilih Pasangan Hidup, Hubungan Suami-Istri, Riak-Riak Kehidupan, Pengalaman adalah Guru Utama Selain Tuhan, dan Meditasi untuk Menyelesaikan Masalah.

Dibalut dengan cover bernuansa senja karya Bli Kodrat dan layout oleh Cokorda Rai Adi Pramartha dan Anak Agung Ngurah Wisnu Wardana, buku setebal 183 halaman ini kemudian dikemas dan diterbitkan Suryani Institute Publishing dalam bentuk e-book dan diluncurkan secara online.

Buku ini siap mengajak pembaca turut hadir di tengah perbincangan antara psikiater dengan kliennya untuk mulai melihat kehidupan dari dalam keluarga sebagai bagian dari kehidupan terkecil dan pondasi pribadi.

Terakhir, buku ini diharapkan dapat menuntun pembaca untuk menyelami kehidupan sebagai sebuah tantangan.

“Semua orang bisa menyelesaikan masalahnya kalau mau mendengar atau membaca pengalaman orang lain, sehingga muncul pemikiran baru dan tetap berusaha memaknai kehidupan dan menikmati hasilnya dengan bahagia,” tutup Prof Luh Ketut Suryani.(*).

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved