Temuan Patung Nyi Roro Kidul
Kenapa Pemasang Patung Nyi Roro Kidul di Nusa Dua Tidak Dipidana, Ini Penjelasan Pakar Hukum
Pemasang patung Nyi Roro Kidul di Kawasan Pantai Water Blow, Nusa Dua ITDC, Bali akhirnya mengakui perbuatannya kepada Kepolisian Sektor Kuta
Penulis: Adrian Amurwonegoro | Editor: Ady Sucipto
Laporan wartawan Tribun Bali, Adrian Amurwonegoro
TRIBUN-BALI.COM, BADUNG - Pemasang patung Nyi Roro Kidul di Kawasan Pantai Water Blow, Nusa Dua ITDC, Bali akhirnya mengakui perbuatannya kepada Kepolisian Sektor Kuta Selatan, pada Selasa (26/5/2020).
Setelah mengklarifikasi tindakannya dan meminta maaf kepada berbagai pihak.
Akhirnya patung itu ia bongkar tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Perempuan berinisial MTR (45) itu mengaku memasang patung tersebut karena mendapat bisikan saat meditasi di Pura Rong Telu miliknya yang mengharuskan dia memasang patung Nyu Roro Kidul tersebut di pantai perbatasan pantai selatan di Bali.
Meskipun viral dan menjadi pembicaraan hangat di lini media sosial, polisi tidak menahan dan mempidana MTR, karena tindakannya dilakukan atas motif bisikan personal.
• BREAKING NEWS Pemasang Patung Nyi Roro Kidul di Pantai Waterblow Muncul, Ini Pengakuannya
• Pemasang Patung Nyi Roro Kidul di Pantai Water Blow Nusa Dua Mengaku Dapat Pawisik ini
• Viral Patung Nyi Roro Kidul di Pantai Waterblow, Ini Sejumlah Kisah Tentang Penguasa Laut Selatan
Praktisi Hukum asal Bali I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari mengatakan memang tidak ada pasal yang dirujuk atas perbuatan MTR.
"Artinya terpenuhinya unsur-unsur pidana (material), yang lebih jauh tentu harus ada pembuktian terhadap tindakan yang terganggunya kepentingan umum, keresahan warga sekitar," kata dia kepada Tribun Bali, Rabu (27/5/2020).
Senada dengan yang disampaikan oleh Kapolsek Kuta Selatan AKP Yusak Agustinus Sooai, Jayantiari menyebut apabila motif tindakan pelaku adalah berdasarkan bisikan atau personal dan tidak mengganggu kepentingan umum.
Beda halnya jika apa yang dilakukan MTR setelah didalami polisi ada suatu aliran tertentu yang tidak diperbolehkan dan dilakukan dalam jumlah pengikut yang banyak.
"Ini kan dilakukan sendiri, tidak ada ritual massal, apalagi terkait pandemi covid-19 juga tidak terjadi kerumunan.
Ada semacam apakah aliran itu diperbolehkan, kalau perbuatan tidak menyenangkan warga sekitar kan tidak ada juga yang mengadukan tindakan itu mengganggu kepentingan warga, kegaduhan pun kalau substansinya musti keramaian, suara bising ada substansinya, konteksnya lebih ke suara yang ribut," paparnya.
Di sini tidak dikonfirmasi kerugian, unsur-unsur pelecehan budaya, atau unsur orang mengikuti suatu aliran yang tidak diperbolehkan.
"Polisi kan dari awal sudah menegaskan perbuatan orang iseng, pasti ada kesimpulan permulaan dan pasti ada dasarnya," katanya.
Jika kepercayaan personal atau karena bisikan dengan alasan seperti itu kepada diri sendiri, dengan kata lain penghayat seperti itu ada porsi untuk dihargai.