Pandangan Psikiater Memahami Tindak Aborsi & Gangguan Jiwa Akibat Abaikan Konsep Roh atau Spiritual
Pandangan Psikiater Memahami Tindak Aborsi dan Gangguan Jiwa Akibat Abaikan Konsep Roh atau Spiritual. Konsekuensi Aborsi Jangka Panjang
Penulis: Adrian Amurwonegoro | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Laporan wartawan Tribun Bali, Adrian Amurwonegoro
TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR- Mulai dari sekarang harus dipahami bahwasannya tiga elemen penting yang ada di dalam diri manusia, yakni tubuh/fisik (body), pikiran (mind), dan roh/jiwa (spirit) merupakan bagian utuh dari satu kesatuan kehidupan yang sehat.
Akan tetapi banyak ditemui, masyarakat yang masih abai terhadap konsep roh, implikasinya banyak bermunculan kasus-kasus aborsi, gangguan jiwa hingga bunuh diri.
Seperti disampaikan oleh Psikiater senior Prof Dr LK Suryani SpKJ(K) dan Dr Cok Bagus Jaya Lesmana SpKJ(K) dalam bincang-bincang Santapan Jiwa dan Jasmani (Sanjiwani) bersama Tribun Bali yang dipandu oleh Pemimpin Redaksi Sunarko di Kantor setempat, Ketewel, Gianyar, Bali, pada Selasa (28/7/2020) malam.
Prof. Suryani menyebutkan ada dua konsep dalam memahami konsep kesehatan manusia, konsep Barat mengutamakan pandangan bahwa manusia terdiri dari elemen fisik/tubuh dan pikiran saja.
• Antar Pemedek ke Menjangan, Nakhoda Jukung Tewas Setelah Perahu Diterjang Ombak
• Prakiraan Cuaca BMKG 29-30 Juli 2020 di Bali, Terdapat Potensi Hujan Ringan
• Dishub Denpasar Minta Operator Maupun Agen Kapal Ikuti Protokol Kesehatan Covid-19
Sedangkan konsep Timur adalah melihat aspek roh atau spiritual.
Dewasa ini, konsep Barat banyak mempengaruhi cara pandang masyarakat di Indonesia dan mengabaikan aspek spirit atau roh sehingga membawa kehidupan manusia pada sebuah konsekuensi.
Terungkap, bahwa seksualitas bukanlah aktivitas fisik semata melainkan melibatkan aspek roh atau spiritual.
Hal inilah yang tidak boleh diabaikan masyarakat karena akan berdampak pada kesehatan kehidupan generasi penerus di masa depan.
Sehingga jangan sampai pasangan yang belum siap secara lahiriah dan batiniah terikat dalam sebuah hubungan rumah tangga kemudian melakukan hubungan intim hanya karena terjebak dalam gairah fisik.
Hubungan intim membuat memungkinan kehamilan, jika kehamilan tidak dikehendaki karena satu alasan atau lainnya, kemudian dengan mudah orang melakukan aborsi dengan dalih usia kehamilan masih sangat dini, ternyata roh dari janin yang diaborsi yang hanya dianggap bagai "segumpal darah" ini memberikan pengaruh pada keberlangsungan hidup.
"Bicara konsep manusia, manusia sangat tergantung pada fisik dan mental (konsep barat) sebagai dasar melihat manusia, tidak memikirkan bahwa ada roh, pada saat terbentuk roh, manusia itu sudah lengkap dengan apa yang akan terjadi dalam perjalanan hidupnya dan kemungkinan lainnya, kemudian setelah memiliki fisik dan mental di sanalah masuk memori orang tuanya," ujar spesialis kedokteran jiwa itu.
Disebutkan Prof. Suryani, perjalanan hidup seorang anak merupakan buah memori ibu dan ayah selama 9 bulan dalam kandungan dan 10 tahun pertama.
Sehingga dalam proses membuat keturunan perlu dipersiapkan pendidikan seksual sejak usia dini, pra nikah dan kemudian menikah.
Dalam konsep Bali, anak adalah masih Dewa, artinya orang tua tidak boleh memarahi, mencerca dan menghujat.
"Konsep timur tidak memandang baik atau buruk dari faktor keturunan, tetapi bagaimana ia dibuat, oleh karena itu mempelajari spirit atau roh lebih penting dan bagaimana hubungan seksual serta permulaannya," ujarnya.
Guru Besar Universita Udayana Bali itu berpendapat, bahwa terlalu mudahnya orang melakukan aborsi adalah tak lain tak bukan karena tidak memahami konsep roh atau spiritual.
Eksesnya kemudian, manusia menjadi asal melakukan hubungan seksual tanpa berpikir kemungkinan kehamilan, padahal kembali ia tekankan, seksualitas tidak sekadar aktivitas fisik saja.
Suryani menegaskan, kehidupan tidak hanya sebatas gumpalan darah akan tetapi ada kehidupan lain yang tidak bisa diabaikan.
Konsep spiritual menjadi aspek penting sebagai dasar seksualitas.
"Mereka memandang kalau menggugurkan janin tidak memahaminya sebagai dosa, jangan menganggap fenomena aborsi hanya sebagai segumpal darah," sebutnya.
Spiritual adalah jawaban apa yang terjadi atau dirasakan berpengaruh oleh para orangtua maupun anak-anak di kehidupan selanjutnya.
Ketika orang menanyakan kenapa ada gangguan jiwa di dalam keluarganya, maka di situ ada peran roh yang merasa diabaikan dan mengikuti keluarga itu.
Dalam sebuah kasus yang dialami pasiennya, ia menceritakan pasiennya yang mengalami kecanduan gadget, film porno dan masturbasi setiap hari, setelah ditelusuri ternyata ada kaitannya dari perbuatan ayah dan ibunya di masa lalu.
"Ada pasien saya yang kecanduan gadget, menonton film prono, melakukan masturbasi setiap hari, waktu kami wawancara ternyata orangtuanya sebelum menikah terjebak dalam gairah yang luar biasa dan sempat berniat menggugurkan anak ini waktu usia 1 bulan, namun akhirnya tidak jadi menggugurkan akhirnya ibu dan bapaknya menikah, tapi selalu ribut, berkelahi selama mengandung,"
"Kemudian si anak ini lahir dalam keadaan tidak nyaman. Anaknya ganteng, fisik lengkap, namun sejak kecil jadi kecanduan seks, mudah marah dan usia 14 tahun mengurung diri. Ini contoh sederhana kalau membuat anak buatlah dalam keadaan tenang," papar dia.
Selain itu, penting bagi pasangan menggambarkan citra anak sejak dalam kandungan untuk merangsang anak saat tumbuh nanti mempelajari banyak ilmu dan kehidupan yang lebih baik lagi.
"Orangtua jangan hanya sibuk mencari uang dan tidak berpikir hubungan seks kalau hamil akan menentukan kehidupan masa depan anak. Kiranya hal ini yang harus segera diperbaiki," tuturnya.
Bahkan sejak tahun 2005, Badan Kesehatan Dunia WHO mengkategorikan bahwa kesehatan yang seimbang adalah Mind, Body, and Spirit.
Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan Prof. Suryani bahwa aborsi mengabaikan konsep spirit akan memberikan dampak yang jauh bahkan bisa menimbulkan gangguan pada kesehatan jiwa baik pada pelakunya maupun anggota keluarganya.
Suryani berpesan kepada para pelaku aborsi atau pengguna intrauterine device (IUD) agar merenung, meditasi sesuai agama dan kepercayaan masing - masing mendoakan roh-roh yang telah gugur.
"Kembalilah merenung, apakah melakukan pengguguran, apakah pemakaian IUD, menurut pribadi saya IUD bukan mencegah pertemuan sprema dan ovum tetapi mencegah menempelnya roh yang sudah terjadi di kandungan,"
"Perlu meditasi sebab roh-roh bisa mengganggu kehidupan selanjutnya, bukan suami-istri saja, tapi bagaimana membesarkan anak dalam mencari kehidupan, rejeki dan sebagainya atau dalam hubungan dengan orang lain, sehingga perlu ibu dan ayah harus meminta maaf kepada roh itu, tidak ada motif membunuhnya, bahwa itu yang terbaik untuk kelangsungan hidup saudaranya, kalau ditanya berapa anaknya juga menyebutkan jumlah anak berapa keguguran, agar roh merasa dihargai, dan bebas dari karma," beber dia.
Pada kesempatan yang sama, Dr Cok bagus Jaya Lesmana SpKJ(K), menyampaikan tentang pentingnya edukasi seksualitas dalam membangun sebuah keluarga dan menghasilkan generasi penerus yang berkualitas sehat secara fisik, mental dan spiritual.
"Kita melihat bahwa membangun sebuah keluarga tentu ada pernikahan, sehingga orang perlu mengetahui apa yang dipersiapkan untuk memiliki harapan generasi penerus yang berkualitas sehat secara fisik mental dan spiritual dapat diwujudkan," kata aktivis Suryani Institute Forum Mental Health itu.
Dalam membangun keluarga perlu diperhatikan bibit, bebet dan bobotnya sebagai landasan edukasi melanjutkan ke jenjang kehidupan selanjutnya, jangan pernah anggap kuno filosofi ini.
"Masyarakat kita memperhatikan bibit, bebet, bobot sebelum menikah ada filosofi luar biasa di balik ini, bahwa menjalani kehidupan suami istri atau kehidupan yang baru, harus tau apa yang dikerjakan, baik dalam memahami diri sendiri maupun pasangan," ucapnya
Menurutnya, edukasi seksualitas tidak serta merta masalah aktivitas seks saja, melainkan erat kaitannya dengan pemahaman kasih sayang, perhatian, sentuhan dan sebagainya melalui paradigma mind, body dan spirit.
Sehat adalah keseimbangan fisik, mental dan spirit, jika ada elemen yang diabaikan akan dapat menimbulkan gangguan jiwa.
"Yang notabene membuat orang tersebut menghargai dirinya sendiri dan pasangan sehingga tidak akan terjadi kekerasan, aborsi karena ketidaksiapan maupun ketidaktahuan dari pasangan tersebut," terang dia.
Tingginya kasus aborsi adalah bukti dari minimnya pendidikan seksualitas sejak usia dini, padahal pengetahuan seksualitas tidak hanya berpatok pada seiring bertambahnya usia dan pendidikan di sekolah saja seperti yang menjadi anggapan masyarakat selama ini.
"Entah karena adanya stigma atau tabu membicarakan seks atau keenganan untuk mencari tahu apa yang perlu mereka pelajari dan pahami tentang seksualitas. Sehingga penting mengetahui kasih sayang, diri sendiri dan pasangan," ucapnya.
Meskipun berprofesi sebagai dokter, Eko tak hanya memandang gangguan jiwa sebagai dampak dari proses secara biologis dan psikologis yang bermasalah dari seseorang yang mengalami gangguan, melainkan karena ada spirit atau roh yang diabaikan sehingga berdampak pada kesehatan mental bisa mengganggu sekeliling, keluarga dan lingkungan.
Seperti halnya, gravitasi bumi ada sebelum Isaac Newton melempar apel jatuh ke bawah, bahwa roh sudah ada sebelum terbentuk fisik dan mental.
"Sebagai contoh, saya punya seorang pasien umur 18 tahun diajak oleh orang tuanya karena ada keinginan bunuh diri yang kuat, setelah ditelusuri ternyata ada faktor X,"
"Saya bertanya kepada ibunya memiliki 3 anak, tapi ternyata pernah keguguran dua kali dan kuret 2x artinya 4x keguguran dan belum diupacarai," jelas Eko.
Maka jika seks hanya dipahami hubungan fisik "selamat pagi" dan "selamat malam" maka akan banyak orang melakukan aborsi tanpa memahami konsep roh.
Di era modernisasi dan globalisasi saat ini memungkinkan adanya percampuran budaya yang memberikan pengaruh terhadap kehidupan seseorang.
Sehingga pendidikan seksualitas diperlukan untuk memberikan batasan terhadap pelanggaran norma-norma yang ada di masyarakat Indonesia.
"Pengaruh terhadap diri seseorang tidak hanya bersumber dari budaya atau daerah saja, tetapi sekarang dunia sudah dalam genggaman, artinya segala macam pengaruh akan masuk dalam diri seseorang tanpa mengenal batas ruang dan waktu. Budaya Barat, Budaya Timur, negara maju, negara terbelakang, itu semua bisa mereka dapatkan yang akan mempengaruhi pola pikir. Dulu hidup itu ada waktu untuk kerja dan istirahat, sekarang berubah bahwa materi yang lebih penting karena itu akan memastikan atau menjadi jaminan hidup lebih baik," bebernya.
Hal ini agaknya menjadi kewaspadaan bahwa adanya konsep karma pada kehidupan anak cucu.
Sejatinya, konsep budaya masyarakat Indonesia sudah mengajarkan untuk berencana jauh, tidak hanya 5-10 tahun, tetapi untuk generasi penerus.
"Kewaspadaan bagi kita semua bahwa pengguguran ternyata ada konsekuensi jangka panjang yang perlu diperhatikan agar tidak menimbulkan karma buruk. Apa yang kita lalukan akan menentukan apa yang terjadi pada anak dan generasi kedepannya," tandasnya.
Manusia harus memperhatian rambu-rambu norma dalam aktivitas seksual bahwa huhungan intim sebaiknya-baiknya adalah dilakukan dalam ikatan suami-istri yang sah.
"Agar tidak terjadi seperti sekarang banyak seks bebas yang terjadi karena terkesan ingin bebas dari rumah, atau mungkin pengaruh budaya luar dan sebagainya, akhirnya mengabaikan konsekuensi karma yang didapatkan pada anak dan cucu kita kelak," pungkas dia.
Tayangan video bincang-bincang Sanjiwani bertema kaitan aborsi dengan gangguan jiwa ini dapat disaksikan melalui sosial media Tribun Bali di channel Youtube, Instagram maupun Facebook. (*).