Dharma Wacana
Kisah Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda, Ditinggal Ayah Sejak Dalam Kandungan (1)
Ida Pandita melewati masa kecil yang sangat berat, bahkan sejak berada di dalam kandungan.
Penulis: Ida Ayu Made Sadnyari | Editor: Wema Satya Dinata
TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR – Nama Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda sudah tidak asing lagi di kalangan umat Hindu nusantara.
Beliau kerap memberikan dharma wacana dan diundang lintas provinsi.
Tak banyak yang tahu kisah masa kecil sulinggih kelahiran 5 Mei 1966 yang saat ini tinggal di Griya Mumbul Sari, Serongga, Gianyar.
Ida Pandita melewati masa kecil yang sangat berat, bahkan sejak berada di dalam kandungan.
• Danrem 163/Wira Satya Beri Arahan kepada Jajarannya Terkait Atensi pada Covid-19 & Pilkada Serentak
• Danrem Brigjen Husein Pimpin Serah Terima Lima Jabatan Strategis di Lingkungan Korem 163/Wira Satya
• Jelang WorldSSP 2020 di Spanyol, Galang Hendra Optimis Hasil Maksimal di Putaran II World Supersport
Dalam wawancara eksklusif bersama Tribun Bali, Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda mengisahkan perjalanan hidupnya hingga menapaki dunia spiritual.
Ida Pandita menuturkan, masa lalu ini sesungguhnya sudah dikubur dalam-dalam.
Namun, Ida Pandita berbagi cerita tanpa ada niat untuk membesarkan namanya.
Karena, apa pun yang dikerjakan saat ini, diupayakan agar berguna bagi orang lain.
Demikian juga kisah kehidupan Ida Pandita, akan menginspirasi umat.
Dalam sejarah kelahirannya, Ida Pandita merupakan anak yang berbeda.
Lahir pada saat usia kandungan ibunya 11 bulan, Ida Pandita bahkan tidak menangis saat dilahirkan dari perut ibunya.
Ibunya merupakan PNS di RSAD Udayana Denpasar, tempat Ida Pandita dilahirkan.
“Ibu saya bercerita, saya tidak menangis ketika dilahirkan pada saat usia kandungan ibu sebelas bulan,” ungkapnya.
Saat dilahirkan tidak menangis seperti bayi pada umumnya.
“Tubuh saya kemudian dibalik, kepala di bawah dan pantat ditepuk-tepuk. Bidan yang membantu persalinan berkata ‘piye le, nangis le’,” tutur Ida Pandita.
• Update Covid-19 di Bali: Bertambah 48 Pasien Sembuh, 41 Orang Dinyatakan Positif
• Pembukaan Pariwisata Melewati Kajian yang Matang, Luhut: Kita Buka Bali Bukan Asal Dibuka
• Gubernur Kepri Positif Covid-19 Usai Dilantik Presiden Jokowi,Dugaan Sementara Tertular Staf Pribadi
Dengan berbagai usaha yang dilakukan bidan, akhirnya sejam kemudian Ida Pandita menangis.
Ida Pandita merupakan anak pertama dan anak tunggal.
“Ayah meninggalkan saya saat saya ada dalam kandungan ibu yang berusia enam bulan. Peristiwa kematian ayah membuat ibu saya terpukul, tertekan, mungkin itu yang menyebabkan saya ketika lahir sakit-sakitan. Saya menjadi sangat perasa,” ungkapnya.
Mungkin sudah karma dan harus menerima realita yang ada, Ida Pandita terlahir menjadi anak yatim.
Sempat mati suri
Bulan awal kelahiran, Ida Pandita sakit-sakitan. Bahkan di usia tiga bulan, mati suri.
“Ibu bercerita, ketika saya umur tiga bulan, saya sudah mati. Saya sudah siap dibungkus,” kenangnya.
Ida Pandita bersyukur karena ibunya bekerja di rumah sakit.
Setiap kali berada di rumah, Ida Pandita kecil selalu mengalami sakit yang tidak jelas.
Saking seringnya dirawat, rumah sakit sudah seperti tempat tinggal.
Setiap kali Ida Pandita dibawa kembali ke rumah, sakit yang tidak jelas datang kembali.
Hingga akhirnya di usia tiga bulan, begitu pulang dari rumah sakit karena sudah sembuh, Ida kembali mengalami sakit.
Ida Pandita memang dilahirkan dan dibesarkan di Denpasar, tetapi asal dari Lebih, Gianyar.
Sebagai orang Bali yang percaya pada nunas bawos, dari sana diketahui bahwa yang reinkarnasi ingin dibuatkan upacara di Lebih, tidak mau di Denpasar.
Jarak Denpasar dan Gianyar sangat jauh, saat itu naik bus dan setelahnya harus melanjutkan dengan berjalan kaki kurang lebih empat kilomenter dalam panas, sehingga tidak mungkin dilakukan.
Ida Pandita kemudian mengalami mati suri saat umur tiga bulan.
Dokter menyerah karena tidak ditemukan penyakit secara medis.
“Ditanya di paranormal, dalam kondisi yang koma. Ibu saya diminta menyalakan lampu sentir dan dipertahankan 30 menit. Kalau lampu tersebut mati, bahwa anak ini tidak akan selamat,” ucapnya.
Saat itu tubuh Ida Pandita sangat kurus, tidak lebih dari sebesar mentimun, tinggal digulung.
Ternyata, lilin itu berkelanjutan hidup.
“Lilin tersebut ternyata tetap menyala, dan saya tetap hidup. Mangku Diksa saat itu berpesan, mendapat wangsit, anak ini akan panjang umur dan dikenal masyarakat, dan dia akan membawa pola pikir yang membuat orang lain terperanjat. Kebetulan saya membawa bekal lahir yang berbeda, ruas kelingking saya empat, tidak tiga,” paparnya.
Dalam perjalanannya, di tahun 1972 sang ibu menikah dan membawa serta Ida Pandita kecil.
Ida Pandita dibesarkan dalam kesederhaan.
Karena situasi sulit saat itu, Ida Pandita baru sekolah kelas satu saat berumur delapan tahun.
“Sebelum sekolah, saya pernah menjadi buruh membersihkan kangkung, saat sekolah, tinggal di Sesetan dan sekolah di Sanglah, SD 12 Denpasar.
Saat itu tidak hanya sekolah tapi juga membantu mencari sekam.
“Bahkan saat itu, beratnya sekam melebihi berat badan saya sehingga gerobak itu menaikkan saya. Dari situ saya berpikir, saya tidak bisa menuntut banyak pada ibu saya. Saya memendam perasaan. Saat itu SD, tidak ada bekal untuk sekolah, saya minum air sawah, syukur tidak ada pestisida,” kenang Ida Pandita.
Kemudian sambil sekolah Ida Pandita menjual es di kantin sekolah.
“Saat itu, sambil sekolah saya jualan es, itu yang saya kumpulkan. Saya tidak punya cita-cita apa, tidak punya keinginan apa-apa, yang penting bisa bertahan hidup. Paling saya menangis, mengapa hidup saya seperti ini,” kenang Ida Pandita dengan pandangan berkaca-kaca dan suara bergetar.
Kepahitan masa lalu menjadikan Ida Pandita kuat dan lebih matang di usia yang masih muda.
Dalam kesusahan pun, Ida Pandita saat SD sempat menjadi siswa teladan.
Demikian juga ketika SMP di SMPN 5 Denpasar, dan di SMAN 2 Denpasar, nilainya selalu bagus.
Bahkan ketika akan kuliah, dapat jalur PMDK di Unud.
“Sungguh berat perjalan yang telah dilalui. Saat SMA kelas tiga, sebelum tamat, saya mengalami dejavu yang luar biasa, yang mengubah mindset saya untuk saya masuk ke dunia agama. Setahun berlalu. Saya dibawa ke alam lain. Sampai puncaknya di tahun 1986 dan ditahbiskan sebagai pendeta,” cerita Ida Pandita.
Saat itu, tidak ada hal lain yang dipikirkan selain bisa bertahan hidup.
“Saya waktu itu meminta pada Tuhan, saya menolak dapat berbagai pica dan saya buang. Tuhan saya tidak meminta ini, saya meminta kelanjutan hidup,” ungkap Ida Pandita sambil menangis.
Bersambung…..