Mengenang Wiji Thukul, Aktivis yang Bersuara dengan Puisi-puisinya, Ungkap Berbagai Ketidakadilan
Melalui aksi dan puisi-puisinya ia selalu berusaha mengungkapkan berbagai ketidakadilan dan pengingkaran harkat dan martabat manusia.
Setelah itu, keberadaan dirinya tidak pernah lagi diketahui.
• Film “Nyanyian Akar Rumput” tentang Kisah Keluarga Wiji Thukul Tayang di Bioskop 16 Januari 2020
"Hilangnya Wiji Thukul sekitar Maret 1998 kami duga berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan oleh yang bersangkutan. Saat itu bertepatan dengan peningkatan operasi represif rezim Orde Baru dalam upaya pembersihan aktivitas politik yang berlawanan dengan Orde Baru," jelas Munarman.
Ia menyebut, ketika itu terdapat 23 orang termasuk Thukul yang dinyatakan hilang dalam operasi itu, dan hingga medio tahun 2000, setidaknya 14 di antaranya belum diketemukan.
Target operasi
Budiman Sudjatmiko yang saat itu menjadi Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) menceritakan apa yang dilakukan oleh Thukul hingga akhirnya ia dinyatakan hilang.
Budiman mengisahkan, Wiji Thukul menjadi salah satu target utama pada saat terjadi pembersihan besar-besaran terhadap aktivis gerakan demokrasi pascatragedi berdarah 27 Juli 1996.
Thukul sempat meloloskan diri dari kejaran ketika itu, lalu ia berpindah-pindah kota akibat menjadi target kejaran aparat. Mulai dari Solo, Salatiga, Jakarta, hingga sempat disembunyikan di Serpong, Tangerang.
Budiman menduga, Thukul menjadi salah satu korban operasi penyapuan aktivis di Solo, bersama dengan aktivis lain, salah satunya bernama Suyat yang juga belum dinyatakan kembali di tahun 2000.
• Terinspirasi Sajak Wiji Thukul, MR HIT Rilis Sang Pejuang di Akun Instagram
Sejak kecil menderita
Lahir dengan nama Wiji Thukul Wijaya, 26 Agustus 1963, di kampung Sorogenen Solo, Wiji Thukul merupakan anak pertama dari empat bersaudara yang hidup dalam lingkungan tukang becak dan keluarga buruh.
Sejak kecil hidup di tengah penderitaan. Seolah mengikut namanya yang berarti "benih yang tumbuh", jiwanya selalu tergugah menyuarakan perlakuan yang tidak adil.
Ayahnya, Pak Bejo, tukang becak di Solo, sedangkan ibunya tinggal di rumah.
Pendidikannya hanya sampai kelas dua Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Jurusan Tari, Solo.
Kemiskinan dan di sisi lain kecintaannya akan puisi dan teater, telah menyebabkan ia keluar dari sekolah.
Hobi membaca buku dan berpuisi, sudah muncul saat duduk di SD Kanisius Sorogenen Solo.