Poin-poin Ini Menjadi Sorotan DPR dalam Revisi RUU Cipta Kerja

Baleg membahas sejumlah poin-poin usulan revisi UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Editor: Wema Satya Dinata
TRIBUNNEWS/CHAERUL UMAM
ilustrasi-Buruh dari berbagai daerah yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), melakukan aksi demonstrasi menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja, di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (3/8/2020). 

Kedua, poin tentang luas kawasan hutan yang harus dipertahankan.

Pemerintah mengusulkan revisi pasal 18 ayat 2 menjadi “Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai kondisi fisik dan geografis DAS dan/atau pulau.”

Poin ini menjadi sorotan Baleg karena dalam UU 41/1999 pasal 18 ayat 2 sebelum usulan revisi berbunyi “Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30 % (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.”

Hendroyono mengatakan, melihat Indonesia tidak bisa hanya kawasan hutan karena harus memperhatikan mozaik ekosistem.

Ekosistem Indonesia berbeda dari Indonesia bagian barat, Indonesia bagian Tengah, dan Indonesia bagian timur.

“Kami mencoba membangun sebuah instrument baru, bukan instrument persentase tapi instrument jasa lingkungan, jasa ekosistem yang lahirnya dari sebuah penelaahan para ahli ketika UU 32 (tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup) itu melihat eco region,” ucap Bambang.

Menanggapi hal itu, Anggota Panja Sturman Panjaitan membacakan penjelasan pasal 18 ayat 2 terkait alasan para pakar terdahulu terkait kebijakan luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30 % (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

Penjelasan itu antara lain, dengan mempertimbangkan bahwa Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelom-bang, berbukit, dan bergunung yang peka akan gangguan keseim-bangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air, maka ditetapkan luas kawasan hutan dalam setiap daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau, minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daratan.

Selanjutnya Pemerintah menetapkan luas kawasan hutan untuk setiap propinsi dan kabupaten/kota berdasarkan kondisi biofisik, iklim, penduduk, dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, bagi potensi dan kabupa-ten/kota yang luas kawasan hutannya di atas 30% (tiga puluh persen), tidak boleh secara bebas mengurangi luas kawasan hutannya dari luas yang telah ditetapkan.

Oleh sebab itu luas minimal tidak boleh dijadi-kan dalih untuk mengkonversi hutan yang ada, melainkan sebagai peringatan kewaspadaan akan pentingnya hutan bagi kualitas hidup masyarakat.

Sebaliknya, bagi provinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% (tiga puluh persen), perlu menambah luas hutannya.

Ketiga, poin terkait perubahan peruntukan dan kawasan hutan. Pemerintah mengusulkan revisi pasal 19 ayat 1 yang berbunyi “Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan mempertimbangkan hasil penelitian terpadu.” Baleg mempermasalahkan usulan revisi itu karena dalam UU 41/1999 pasal 19 ayat 1 sebelum usulan revisi berbunyi Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.

Keempat, terkait poin dana reboisasi untuk hutan.

Pemerintah mengusulkan revisi pasal 35 ayat 1 menjadi Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak dibidang kehutanan.

Halaman
123
Sumber: Kontan
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved