Gung Gde Agung Tengah Berjuang Keluarkan Pariwisata dan Pendidikan dari RUU Omnibus Law
Penglingsir Puri Agung Mengwi bersama anggota DPD RI lainnya, tengah berjuang untuk mengeluarkan pariwisata dan pendidikan dari RUU Omnibus Law.
Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR – RUU Omnibus Law tidak hanya dipandang kontroversi oleh kalangan aktivis hingga masyarakat.
Namun RUU tersebut juga dipandang tidak representatif oleh DPD RI asal Bali, Anak Agung Gde Agung.
Saat ini, penglingsir Puri Agung Mengwi bersama anggota DPD RI lainnya, tengah berjuang untuk mengeluarkan pariwisata dan pendidikan dari RUU Omnibus Law.
Ditemui usai pembagian sembako dalam rangka HUT DPD RI ke-16, di Desa Adat Silungan, Desa Lodtunduh, Ubud, Gianyar, Bali, Rabu (30/9/2020), Anak Agung Gde Agung mengatakan, sebagai anggota DPD yang membidangi agama, pendidikan, sosial, kesehatan dan pariwisata, ia tengah berjuang bersama anggota lainnya, untuk mengeluarkan pariwisata dan pendidikan dari RUU Omnibus Law.
• Bencana Alam Tercatat di 113 Titik di Tabanan, Kerugian Mencapai Rp. 8 Miliar Lebih
• Ramalan Zodiak 1 Oktober 2020, Leo Jangan Keras Kepala, Pisces Akan Menjadi Lebih Serius
• Debut Suarez Memukau di Atletico Madrid, Diego Costa Malah Ingin ke Liga Inggris, Kalah Bersaing?
Mantan Bupati Badung dua periode tersebut mengatakan, alasan pariwisata harus dikeluarkan dari RUU itu, dikarenakan perizinan daerah oleh Omnibus Law ditarik ke pusat.
Padahal secara prinsip, masalah pariwisata itu, mulai dari pelestarian suatu budaya, suatu kawasan dan lingkungannya, yang memahami adalah orang di daerah.
“Kepariwisataan kita minta agar perizinan daerah yang oleh Omnibus Law ditarik ke pusat, itu supaya dikembalikan lagi pada daerah. Dasar hukumnya itu adalah, bikin desentralisasi. Substansinya, masalah perizinan itu, yang mengerti mengenai situasi dan kondisi di daerah, yang memahami pelestarian suatu budaya, suatu kawasan, dan lingkungannya itu kan orang daerah,” ujarnya.
Hal yang sama juga dilakukannya pada bidang pendidikan.
Menurut Agung Gde Agung, RUU Omnibus Law itu memandang pendidikan adalah bisnis.
Padahal, kata dia, pendidikan itu merupakan kegiatan sosial.
Terlepas adanya pembayaran dalam pendidikan, menurut dia bukan bisnis, melainkan demi keberlangsungan pendidikan itu sendiri.
“Kami dari DPD menyampaikan bahwa supaya klaster pendidikan yang ada di Omnibus Law itu supaya dikeluarkan dari sana. Karena pendidikan itu tidak bisnis. Pendidikan itu adalah kegiatan sosial. Karena itu, seyogyanya (pendidikan ) itu dikeluarkan (dari RUU Omnibus Law). Persoalan itu nanti dijalankan itu menjadi bisnis, itu adalah demi kehidupan pendidikan itu sendiri,” ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga sudah rapat kerja dengan Menteri Pendidikan, kata dia, ada kesimpulan mengenai substansi kurikulum pendidikan.
Dimana, mata pelajaran pendidikan moral dan pancasila harus tetap diberikan.
Begitu juga budi pekerti dan sejarah harus tetap dipertahankan.
“Karena terus terang di beberapa tempat, kita melihat dan berdasarkan aspirasi teman-teman juga, kayaknya kadar kepancasilaannya itu menurun. Makanya pendidikan moral dan kepancasilaan harus masuk dalam kurikulum,” ujarnya. (*).