Anggota Baleg DPR Ini Sebut Draf UU Cipta Kerja Ternyata Belum Final, Begini Komentar Kritis Pakar

Setelah diketok palu dan disahkan oleh DPR RI pada 5 Oktober 2020, draf atau naskah Omnibus Law RUU Cipta Kerja ternyata belum final.

Editor: Ady Sucipto
TANGKAPAN LAYAR MEDIA SOSIAL
Ketua DPR RI Puan Maharani dan Wakil DPR RI Azis Syamsuddin dalam sidang paripurna pengesahan Omnibus Law yang diadakan Senin (5/10/2020). 

TRIBUN-BALI.COM - Setelah diketok palu dan disahkan oleh DPR RI pada 5 Oktober 2020, draf atau naskah Omnibus Law RUU Cipta Kerja ternyata belum final.

Hal itu dibeberkan oleh Anggota Badan Legislasi DPR Firman Soebagyo yang menyebut bahwa ada beberapa penyempurnaan redaksional pada draf RUU Cipta Kerja

Terkait itu, Firman mengaku prihatin lantaran banyak orang telah terprovokasi dengan draf yang redaksionalnya belum final dan telah beredar luas di media sosial. 

"Artinya, bahwa memang draf ini dibahas tidak sekaligus final, itu masih ada proses-proses yang memang secara tahap bertahap ada penyempurnaan," kata Firman dalam keterangan tertulis, Kamis (8/10/2020).

Jumat Pagi, Presiden Jokowi & Wapres Maruf Amin Gelar Rapat Bahas UU Omnibus Law Cipta Kerja

Amarah Risma ke Pendemo yang Rusak Fasum di Surabaya: Setengah Mati Bangun Kota Ini, Kamu Hancurin

Presiden Jokowi dan Wapres Maruf Amin Pagi Ini Dijadwalkan Rapat Bahas UU Omnibus Law Cipta Kerja

Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi (Awi) mengamini pernyataan Firman.

Namun, Ia menegaskan, koreksi yang dilakukan hanya sebatas pada kesalahan tanda baca. Misalnya penempatan titik, koma atau huruf.

"Kami sudah sampaikan, kami minta waktu bahwa Baleg dikasih kesempatan untuk me-review lagi, takut-takut ada yang salah titik, salah huruf, salah kata, atau salah koma. Kalau substansi tidak bisa kami ubah karena sudah keputusan," ujar Awi saat dihubungi, Kamis (8/10/2020).

Artinya, koreksi hanya sebatas pada redaksional, bukan substansi.

Awi mengatakan, koreksi redaksional terhadap RUU yang sudah disahkan pada rapat paripurna merupakan hal yang wajar.

Ia sekaligus membantah bahwa kesalahan-kesalahan itu diakibatkan RUU Cipta Kerja dibahas dan disahkan dengan tergesa-gesa.

Menurut dia, berdasarkan Pasal 72 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, DPR memiliki waktu paling lama tujuh hari untuk menyampaikan RUU yang telah disahkan kepada presiden.

"Dalam pengesahan RUU, semua ada kesempatan untuk melakukan koreksi. Bukan mengubah substansi. Apalagi pembahasan UU ini kan kami dibatasi waktu, yaitu tiga kali masa sidang. Jadi harus disahkan. Tapi kan sudah selesai, kecuali belum selesai lalu disahkan itu repot," papar Awi.

"Ini sudah selesai di tingkat Panja, tim perumus sudah selesai. Salah-salah ketik itu manusiawi, kecuali salah substansi itu tidak boleh," lanjut dia.

Demi redakan gejolak?

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus khawatir proses finalisasi yang dilakukan tidak hanya sekadar mengubah redaksional, tetapi juga substansi ketentuan UU Cipta Kerja dengan menyelundupkan pasal yang merugikan pekerja.

"Apa jadinya kalau drafnya belum jadi tetapi sudah diparipurnakan? Ruang bagi terjadinya utak-atik pasal sesuai selera penguasa ataupun elite parpol besar kemungkinan terjadi," kata Lucius, Kamis (8/10/2020).

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved