Virus Corona
WHO: Stop Lockdown karena Bikin Orang Miskin Bertambah Miskin
Selain kebijakan soal masker, WHO kini juga mengubah kebijakan terkait lockdown.
WHO: Stop Lockdown karena Bikin Orang Miskin Bertambah Miskin
TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Berbagai kebijakan terkait penanganan pandemi Covid-19 kerap mengalami perubahan.
Dulu di awal-awal pandemi, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, orang yang dalam keadaan sehat tidak perlu memakai masker.
Saat itu representatif WHO di Indonesia, Dr N Paranietharan meyakinkan kalau masker hanya wajib digunakan oleh orang yang sedang sakit atau mulai mengalami gejala sakit seperti batuk atau bersin-bersin.
Baca juga: Sebabkan Orang Miskin Jadi Semakin Melarat, WHO Tak Lagi Sarankan Lockdown dalam Penanganan Covid-19
Baca juga: Mental Pemain Persib Bandung Drop, Jadwal Liga 1 yang Tak Jelas Dituding Jadi Penyebab
Pantai Pandawa Bali New Normal, Ada Pengunjung Khawatir Terpapar Covid
”Sekali lagi, orang sehat tidak perlu pakai masker,” kata Paranietharan saat sesi diskusi bersama media di Jakarta, Kamis (5/3/2010) lalu.
Belakangan WHO mengubah kebijakannya itu.
WHO secara tegas menyarankan semua orang tanpa terkecuali untuk menggunakan masker di kondisi apapun.
Selain kebijakan soal masker, WHO kini juga mengubah kebijakan terkait lockdown.
Jika dulu lockdown disarankan dilakukan terhadap wilayah yang warganya terpapar corona, seperti yang dilakukan di Wuhan, Melbourne, dan beberapa kota lain, kini kebijakan lockdown tidak lagi disarankan sebagai pendekatan utama dalam penanganan pandemi Corona.
Setidaknya, itu yang disampaikan oleh utusan WHO, Dr David Nabarro, dalam sebuah wawancara video dengan majalah Inggris, The Spectator.
Menurut Nabarro, lockdown atau pembatasan semacam itu hanya boleh dilakukan sebagai pendekatan terakhir.
”Kami di WHO tidak mengadvokasi lockdown sebagai cara utama mengendalikan virus ini," kata Nabarro dikutip dari Nypost, Senin (12/10/2020).
"Satu-satunya kesempatan yang kami yakini lockdown dibenarkan adalah untuk memberi Anda waktu mereorganisasi, menata kembali, menyeimbangkan kembali sumber daya, melindungi tenaga kesehatan yang kelelahan, tapi pada umumnya kami memilih tidak melakukannya," lanjutnya.
Nabarro mengatakan, ada dampak signifikan terkait pembatasan ketat, terutama terkait ekonomi global.
"Lockdown hanya punya satu konsekuensi yang tak boleh diremehkan, yakni membuat orang miskin menjadi lebih miskin," kata Nabarro.
Lockdown, menurut Nabarro paling berdampak pada negara yang menggantungkan diri pada pariwisata.
Ia mencontohkan pariwisata di Karibia yang kelabakan, termasuk Bali.
"Lihat saja apa yang terjadi pada industri pariwisata di Karibia, misalnya, atau di Pasifik karena orang-orang tidak berlibur," kata Nabarro kepada media tersebut.
"Lihat apa yang terjadi pada para petani kecil di seluruh dunia. Lihat apa yang terjadi pada tingkat kemiskinan. Tampaknya kita mungkin memiliki dua kali lipat kemiskinan dunia pada tahun depan. Kita mungkin memiliki setidaknya dua kali lipat anak-anak yang mengalami malnutrisi anak," imbuhnya.
Ketimbang lockdown, ia pun meminta pemimpin dunia melakukan cara lain.
Misalnya bekerja sama satu sama lain.
Hal ini berbeda dengan seruan-seruan sebelumnya yang diutarakan lembaga PBB itu.
Beberapa kali WHO memperingatkan negara-negara agar tidak berlaku cepat mencabut penguncian terutama selama menghadapi gelombang pertama virus.
"Hal terakhir yang perlu dilakukan oleh negara manapun adalah membuka sekolah dan bisnis, hanya untuk menutupnya kembali karena kebangkitan," kata Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Meski begitu, bos WHO itu juga meminta negara-negara lainnya semakin aktif dalam pengujian dan pelacakan kontak.
Sehingga lockdown bisa dibuka dengan aman dan menghindari penguncian lainnya di masa depan.
"Kita perlu mencapai situasi yang berkelanjutan di mana kita memiliki kendali yang memadai terhadap virus ini tanpa mematikan hidup kita sepenuhnya, atau beralih dari lockdown ke lockdown lain yang sangat merugikan bagi masyarakat," katanya.
Di Indonesia sendiri Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak awal menolak karantina wilayah atau lockdown sebagai upaya mencegah penyebaran virus corona.
Jokowi menyebut lockdown tak menjadi pilihan karena akan mengganggu perekonomian.
"Lockdown itu apa sih? Orang enggak boleh keluar rumah, transportasi harus semua berhenti, baik itu bus, kendaraan pribadi, sepeda mobil, kereta api, pesawat berhenti semuanya. Kegiatan-kegiatan kantor semua dihentikan. Kan kita tidak mengambil jalan yang itu," kata Jokowi seusai meninjau pembangunan rumah sakit darurat Covid-19 di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau, awal April silam.
"Kita ingin tetap aktivitas ekonomi ada, tapi masyarakat kita semua harus jaga jarak aman, social distancing, physical distancing itu yang paling penting," sambungnya.
Oleh karena itu, Jokowi lebih memilih menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Dengan skema PSBB ini, aktivitas perekonomian tetap berjalan, tetapi tetap ada sejumlah pembatasan demi mencegah penyebaran Covid-19.
Misalnya penerapan bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah di daerah yang rawan.
Masyarakat yang terpaksa keluar rumah juga diingatkan untuk disiplin menjaga jarak satu sama lain.
Selain itu, masyarakat juga diingatkan untuk selalu menjaga kebersihan.
"Jadi kalau kita semua disiplin melakukan itu, jaga jarak aman, cuci tangan tiap habis kegiatan, jangan pegang hidung mulut atau mata, kurangi itu, kunci tangan kita, sehingga penularannya betul-betul bisa dicegah," ucap Jokowi. (tribun network/mal/dod)