Praktisi Pertanian Sebut Ada Dua Solusi untuk Atasi Ancaman Krisis Pangan di Bali
Kehidupan masyarakat di tengah pandemi Covid-19 ternyata tidak hanya terancam dari segi kesehatan dan runtuhnya perekonomian.
Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Bahkan di Bali sendiri, diversifikasi konsumsi pangan ini sudah dilakukan sejak zaman dahulu.
Baca juga: Diawali Cekcok Karena Ditolak Saat Minta Rujuk, Pria di Banjarmasin Ini Nekat Bakar Rumah Mertua
Baca juga: Viral Anak Ayam Berkaki Empat dan Berjari 14, Pria di Denpasar Ini Ungkap Kisah Mulanya
Beberapa daerah di Bali, terutama wilayah timur, seperti Seraya, Karangasem; Nusa Penida, Klungkung; Gerokgak, Buleleng dan beberapa daerah di Pupuan, Tabanan, dari puluhan tahun silam telah melakukan diversifikasi konsumsi pangan.
Arsana menuturkan, masyarakat di Seraya biasanya lebih banyak yang mengkonsumsi jagung, sedangkan mereka yang berada di Nusa Penida kebanyakan mengkonsumsi ketela pohon dan ubi jalar.
Berbeda lagi dengan masyarakat di Pupuan yang biasanya mencampur berasnya dengan pisang kayu.
"Istilahnya, kalau zaman kecil kita dulu, namanya nasi oran. Jadi dicampur. Berasnya sedikit, dicampur lah pangan lainnya," jelas Arsana mengisahkan.
Baca juga: Petugas Kembali Temukan 6 Pelanggar di Denpasar yang Tidak Taat Prokes
Baca juga: Kisah Warga di Perbatasan, Hidup Makin Sulit di Masa Pandemi Covid-19 dan Sejak Malaysia Lockdown
Baca juga: Satgas TMMD ke-109 Optimalkan Penyuluhan Cegah Alih Fungsi Lahan Pertanian di Banjar Biaung Denpasar
Namun saat ini, bagi Arsana, diversifikasi pangan semacam itu sudah sulit untuk dilakukan.
Hal itu disebabkan karena masyarakat sudah memiliki pemikiran bahwa sumber bahan pangan pokok hanya bersumber dari beras.
Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk melakukan diversifikasi konsumsi dari masyarakat, yakni mengembalikan pola konsumsi masyarakat dan mengangkat nilai sosial produk lokal menjadi hal yang lebih bergengsi.
Saat ini, jika ada masyarakat yang memakan nasi dengan campuran ketela atau pangan lain, dianggap sebagai kelas masyarakat kelas menengah ke bawah.
Baca juga: Siswa SMA di Lombok Ini Nikahi 2 Gadis Dalam Sebulan, Emaknya Pingsan & Ini Kata Istri Pertama
Baca juga: Banting Sarung Tangan, Andrea Dovizioso Kecewa Harus Start dari Posisi ke-13 pada MotoGP Aragon 2020
"Kalau ada yang makan jagung,
makan ubi jalar, itu dikategorikan masyarakat menengah ke bawah. Itu ada unsur nilai sosial di sana," terangnya
Selain dua hal tersebut, hal lain yang perlu dilakukan untuk diversifikasi konsumsi pangan yakni perlu adanya peningkatan teknologi pengolahan bagi produk lokal sebagai substitusi beras.
Misalnya jagung setelah dilepaskan dari batangnya, seharusnya ada teknologi yang bisa memotong bentuknya seperti beras.
Melalui cara itu, kata Arsana, kesannya masyarakat tidak seperti memakan jagung.
Arsana berharap, teknologi semacam itu juga ada untuk bahan pangan lainnya, seperti ubi jalar dan ketela pohon.
"Jadi ada teknologi yang mengolah hasil akhirnya bisa menyerupai seperti beras," harapnya.
Di sisi lain, Arsana juga menyoroti adanya program pola pangan harapan.
Melalui program tersebut, dirinya berharap bisa turut mensosialisasikan tentang beragam pangan yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat guna mencapai kesehatan yang optimal. (*)