Praktisi Pertanian Sebut Ada Dua Solusi untuk Atasi Ancaman Krisis Pangan di Bali
Kehidupan masyarakat di tengah pandemi Covid-19 ternyata tidak hanya terancam dari segi kesehatan dan runtuhnya perekonomian.
Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Laporan Jurnalis Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kehidupan masyarakat di tengah pandemi Covid-19 ternyata tidak hanya terancam dari segi kesehatan dan runtuhnya perekonomian.
Namun di sisi lain, pandemi Covid-19 juga memberikan ancaman berupa krisis pangan lantaran produktivitas lahan pertanian semakin menurun.
Praktisi pertanian Bali, Ida Bagus Gede Arsana mengatakan, menurunnya produktivitas lahan pertanian disebabkan oleh pemakaian kimia sintetis yang semakin marak.
Sejak digaungkannya revolusi hijau hingga saat ini, pemakaian pupuk kimia sintetis, mulai dari pestisida, herbisida dan insektisida semakin masif.
Baca juga: Tersapu Ombak di Perairan Pantai Sanur, Nyoman Alami Cedera
Baca juga: Warga Desa Kesiman Kertalangu Selami Pentingnya Kesehatan dan KB di Tengah Pandemi Covid-19
Baca juga: Terimpit Ekonomi & Stres Suami Sering Main Kartu, Seorang Ibu Bunuh Anak Bayinya Berumur 3 Bulan
"Kalau pemakaian kimia sintetis semakin masif, maka lahan ibu pertiwi kita, baik tanah dan airnya akan semakin terkontaminasi," kata Arsana saat menjadi salah satu pembicara dalam Diskusi Hari Pangan secara virtual dari Ruang Senat Fakultas Pertanian Universitas Udayana (Unud) Sudirman, Denpasar, Minggu (18/10/2020).
Arsana menilai, bahan kimia sintetis jika terus digunakan dapat menyebabkan lahan pertanian akan sakit dan produktivitasnya menurun.
Baca juga: Tiga Kasus Laka Lantas di Denpasar, 4 Orang Tergeletak, Satu Korban Alami Pergeseran Tulang Betis
Baca juga: Musim Hujan Tiba, PUPR Denpasar Bersihkan Sungai dan Saluran Air untuk Cegah Banjir
Baca juga: Masalah Klasik Masuki Musim Hujan, Pemprov DKI Jakarta Siapkan Perahu di Setiap RW Rawan Banjir
"Makanya krisis pangan ini akan terjadi karena produktivitas lahan pertanian, terutamanya lahan basah, sawah, semakin menurun," jelasnya dalam diskusi yang dilaksanakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian Unud itu.
Direktur Utama PT Bali Sri Organik itu menilai, jalan satu-satunya menjawab keberadaan krisis pangan yaitu kembali menerapkan pertanian organik.
Arsana sendiri mengaku sudah sejak 2008 lalu menerapkan sistem pertanian organik tersebut.
Baca juga: Hasil Pemeriksaan Jenazah Wanita yang Ditemukan Tergeletak di Hotel Denpasar, Ini Kata Dokter
Baca juga: Hasil Swab di RSUD Wangaya Ditargetkan Bisa Keluar dalam Waktu 3 Jam
Baca juga: Duduk Perkara Seorang Warga Desa di Karangasem Diberhentikan sebagai Krama Desa, Bermula karena Ini
Kini ia telah berhasil membuktikan bahwa pertanian organik mampu menghasilkan produktivitas yang lebih baik.
Jika pertanian konvensional hanya mampu menghasilkan produksi gabah kering panen hanya sebanyak 3 sampai 4 ton per hektar, dengan pertanian organik bisa menghasilkan 6 hingga 7,2 ton per hektar dalam waktu dua tahun atau empat kali panen.
Hal ini telah terbukti di tiga subak dampingannya yang berada di Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung yakni Subak Sangeh, Subak Sengempel dan Subak Citra.
Baca juga: Guide Syok Tamunya Tenggelam di Kolam Renang, Perempuan Muda Meninggal Dunia di Hotel di Denpasar
Baca juga: Warga Desa Kesiman Kertalangu Digugah untuk Semakin Melek Hukum & Kamtibmas di Masa Pandemi Covid-19
Baca juga: Viral Anak Ayam Berkaki Empat dan Berjari 14, Pria di Denpasar Ini Ungkap Kisah Mulanya
Oleh karena itu, Arsana mengajak masyarakat, terutama generasi muda yang menjadi pahlawan pangan ke depan, untuk segera bertani menggunakan konsep yang selaras dengan alam atau pertanian organik.
Selain menerapkan pertanian organik, ancaman krisis juga bisa disiasati dengan melakukan diversifikasi konsumsi.
Bahkan di Bali sendiri, diversifikasi konsumsi pangan ini sudah dilakukan sejak zaman dahulu.
Baca juga: Diawali Cekcok Karena Ditolak Saat Minta Rujuk, Pria di Banjarmasin Ini Nekat Bakar Rumah Mertua
Baca juga: Viral Anak Ayam Berkaki Empat dan Berjari 14, Pria di Denpasar Ini Ungkap Kisah Mulanya
Beberapa daerah di Bali, terutama wilayah timur, seperti Seraya, Karangasem; Nusa Penida, Klungkung; Gerokgak, Buleleng dan beberapa daerah di Pupuan, Tabanan, dari puluhan tahun silam telah melakukan diversifikasi konsumsi pangan.
Arsana menuturkan, masyarakat di Seraya biasanya lebih banyak yang mengkonsumsi jagung, sedangkan mereka yang berada di Nusa Penida kebanyakan mengkonsumsi ketela pohon dan ubi jalar.
Berbeda lagi dengan masyarakat di Pupuan yang biasanya mencampur berasnya dengan pisang kayu.
"Istilahnya, kalau zaman kecil kita dulu, namanya nasi oran. Jadi dicampur. Berasnya sedikit, dicampur lah pangan lainnya," jelas Arsana mengisahkan.
Baca juga: Petugas Kembali Temukan 6 Pelanggar di Denpasar yang Tidak Taat Prokes
Baca juga: Kisah Warga di Perbatasan, Hidup Makin Sulit di Masa Pandemi Covid-19 dan Sejak Malaysia Lockdown
Baca juga: Satgas TMMD ke-109 Optimalkan Penyuluhan Cegah Alih Fungsi Lahan Pertanian di Banjar Biaung Denpasar
Namun saat ini, bagi Arsana, diversifikasi pangan semacam itu sudah sulit untuk dilakukan.
Hal itu disebabkan karena masyarakat sudah memiliki pemikiran bahwa sumber bahan pangan pokok hanya bersumber dari beras.
Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk melakukan diversifikasi konsumsi dari masyarakat, yakni mengembalikan pola konsumsi masyarakat dan mengangkat nilai sosial produk lokal menjadi hal yang lebih bergengsi.
Saat ini, jika ada masyarakat yang memakan nasi dengan campuran ketela atau pangan lain, dianggap sebagai kelas masyarakat kelas menengah ke bawah.
Baca juga: Siswa SMA di Lombok Ini Nikahi 2 Gadis Dalam Sebulan, Emaknya Pingsan & Ini Kata Istri Pertama
Baca juga: Banting Sarung Tangan, Andrea Dovizioso Kecewa Harus Start dari Posisi ke-13 pada MotoGP Aragon 2020
"Kalau ada yang makan jagung,
makan ubi jalar, itu dikategorikan masyarakat menengah ke bawah. Itu ada unsur nilai sosial di sana," terangnya
Selain dua hal tersebut, hal lain yang perlu dilakukan untuk diversifikasi konsumsi pangan yakni perlu adanya peningkatan teknologi pengolahan bagi produk lokal sebagai substitusi beras.
Misalnya jagung setelah dilepaskan dari batangnya, seharusnya ada teknologi yang bisa memotong bentuknya seperti beras.
Melalui cara itu, kata Arsana, kesannya masyarakat tidak seperti memakan jagung.
Arsana berharap, teknologi semacam itu juga ada untuk bahan pangan lainnya, seperti ubi jalar dan ketela pohon.
"Jadi ada teknologi yang mengolah hasil akhirnya bisa menyerupai seperti beras," harapnya.
Di sisi lain, Arsana juga menyoroti adanya program pola pangan harapan.
Melalui program tersebut, dirinya berharap bisa turut mensosialisasikan tentang beragam pangan yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat guna mencapai kesehatan yang optimal. (*)