Nyanyian Suci, Ini Bahaya Menyanyikan Dharmagita Sembarangan

Dharmagita adalah suatu nyanyian kebenaran, nyanyian keadilan, yang dinyanyikan dalam pelaksanaan upacara agama Hindu.

Tribun Bali/ Net
Ilustrasi Lontar 

Kakawin (sekar ageng), kata dia, merupakan syair Jawa Kuna yang digubah berdasarkan aturan metrum India.

Kakawin diikat aturan guru-laghu (matra), jumlah baris dan jumlah suku kata (wretta) dalam setiap bait (pada).

“Guru adalah suku kata panjang (dilagukan panjang/berat). Laghu adalah suku kata pendek (dilagukan pendek/ringan),” jelasnya.

Kedudukan guru-laghu dalam kakawin dapat dianalogikan dengan kedudukan guru-murid atau orang tua (leluhur) dengan anak-anak (keturunan).

“Sebagaimana dijelaskan dalam Kakawin Nitisastra bahwa “tingkahning suta manuteng bapa gawenya”, artinya perilaku anak akan mengikuti jejak orang tua, maka dapat dikatakan bahwa tinggi rendah nada laghu, akan mengikuti tinggi-rendahnya nada guru yang ada di depannya,” ujar Nyoman Suarka.

Kidung (sekar madia), juga bagian dari dharmagita. Kidung ditinjau dari metrum yang digunakan, dapat dibedakan atas kidung yang menggunakan metrum macapat, dan kidung yang menggunakan metrum tengahan.

Pada prinsipnya syair kidung, juga diikat jumlah suku kata dan bunyi akhir (rima), tetapi dalam sistem penulisan teks kidung dalam lontar-lontar kerap kali tidak menggunakan tanda batas larik (baris).

“Yang biasanya ditandai dengan tanda carik tunggal, seperti pada teks kakawin maupun geguritan, dan satu bait kidung biasanya ditandai dengan tanda pamada (carik agung),” katanya.

Pola metrum tengahan biasanya disusun dengan komposisi yang terdiri atas kawitan (panjang dan pendek), pangawak (panjang dan pendek).

Lalu ada pula geguritan (sekar alit/sekar macapat). Sekar alit (macapat) diikat aturan padalingsa yang terdiri atas guru wilangan atau jumlah suku kata dalam satu baris (satu gatra).

Kemudian guru gatra, jumlah baris dalam satu bait (pada). Serta guru dingdong suara akhir pada setiap baris (a, i, u, e, o).

“Sebagaimana disebutkan di atas, dharmagita merupakan jenis sastra, yakni sastra tembang (gita). Dalam eksistensinya sebagai sastra tembang, dharmagita memiliki konvensi, baik konvensi sastra, konvensi bahasa, ataupun konvensi budaya, sesuai dengan genre-nya, yaitu sloka, palawakya, kakawin, kidung, dan geguritan,” tegas Suarka.

Sebagai sastra tembang, dharmagita menggunakan bahasa sebagai media.

Sejalan dengan kedudukannya sebagai karya sastra tembang itu, maka bahasa dalam dharmagita menunjukkan ciri-ciri, antara lain bahasa dharmagita sebagai bahasa khas yang retorik, stilistik. Yakni bahasanya bersifat khusus dan dianggap menyimpang dari bahasa sehari-hari.

Kekhususan atau keistimewaan bahasa dalam sastra itu, memang merupakan faktor yang ditonjolkan sejak dulu.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved