Jerinx SID Dilaporkan ke Polda Bali
Ajukan Pembelaan, Tim Hukum Minta Jerinx Dibebaskan
Tim penasihat hukum I Gede Ary Astina alias Jerinx (JRX) mengajukan pembelaan setebal 247 halaman.
Penulis: Putu Candra | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Tapi jaksa menguraikan unsur barang siapa.
"Sehingga tidak jelas sebenarnya pasal apa yang sedang dituntut oleh jaksa," cetusnya.
Unsur sengaja dan tanpa hak, itu juga menurut tim hukum tidak terpenuhi secara sah dan meyakinkan.
Kata Gendo, untuk membedakan ujaran kebencian dan ujaran biasa, walaupun ujaran biasa berkobar, penuh semangat, keras, itu juga tidak bisa dikualifikasikan sebagai ujaran kebencian.
Karena yang harus dinilai adalah niat.
"Untuk menguji niat itu, maka komponen bahasanya adalah komponen mental yang harus diuji. Kemudian apakah terdakwa juga melakukan advokasi kebencian dalam ujarannya," terangnya.
Lebih lanjut pihaknya menyatakan, itu tidak terbukti, lantaran postingan Jerinx tanggal 13 Juni 2020 itu adalah fakta.
"Secara fakta hukum, IDI memang kacung WHO secara konseptual. Dalam kode etiknya juga menyatakan tunduk pada WHO. Kemudian dalam menjalani SOP rapid test ini, sudah diakui bahwa anggota IDI, dokter-dokter itu menjalankan SOP rapid test yang bersumber dari WHO yang kemudian mengabaikan kode etik. Sehingga kode etik yang diabaikan untuk menangani pasien sebagai prioritas itu diabaikan karena prosedur rapid test, itu menunjukan bahwa mereka adalah kacung dari WHO. Itu adalah fakta," tegasnya.
"Rapid test yang ngawur dan memaksa juga fakta yang sudah kami uraikan tadi. Kemudian kalimat "menyerang" itu adalah mempertanyakan terkait sikap IDI sebagai agent of change sebagaimana dalam AD/ARTnya terhadap advokasi kebijakan. Oleh karena itu sebuah fakta, maka itu tidak bisa kemudian dinyatakan sebagai ujaran kebencian," tegas Gendo kembali.
Menurutnya, menyampaikan fakta itu adalah kritik.
Jika niatnya mengkritis, maka sangat berbeda dengan ujaran kebencian.
Termasuk juga yang ditegaskan dalam Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang memberikan ukuran ujaran kebencian.
"Karena dalam pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak jelas unsur kebencian itu apa. Sehingga dia mengacunya pada Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang sudah diadopsi atau diratifikasi oleh Indonesia menjadi UU No.12 tahun 2005," papar Gendo.
Oleh karena itu pihaknya menyatakan, tidak terpenuhi unsur niat.
Ketika unsur niat tidak terpenuhi, unsur sengaja dan tanpa hak tidak terpenuhi, otomatis kemudian informasi yang disampaikan adalah fakta.