Di Markas Besar UNESCO, Guru Besar Pertanian Unud Usulkan Agar Status WBD Subak Dicabut
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana (Unud), I Wayan Windia rupanya telah mengusulkan agar status Warisan Budaya Dunia (WBD) subak
Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Wema Satya Dinata
Laporan Jurnalis Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana (Unud), I Wayan Windia rupanya telah mengusulkan agar status Warisan Budaya Dunia (WBD) subak segera dicabut.
Usulan ini bahkan Windia sampaikan langsung di Markas Besar United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) di Paris, Perancis.
Usulan agar status WBD subak dicabut, Windia sampaikan ketika diundang untuk mempresentasikan sistem irigasi subak dalam acara UNESCO International Water Conference 2019 pada 13 dan 14 Mei 2019.
"Saya usulkan agar dicabut itu. Cabut saja (subak) sebagai warisan dunia. Tegas, saya usulkan di Markas Besar UNESCO di Paris," kata Windia dalam diskusi bertajuk "Subak Sebagai Warisan Budaya Dunia Apa Kabar?" di Kampus Unud Sudirman, Denpasar, Minggu (15/11/2020).
Baca juga: 3 Penyebab BLT Karyawan Gelombang II Belum Seluruhnya Cair ke Pemegang Rekening Bank
Baca juga: Walikota Rai Mantra Sambut Kedatangan Rombongan WCC 1.000 KM for Bali Pulih, Ini Tujuan Kegiatan
Baca juga: Boaz Sollosa, Brwa Nouri dan Sejumlah Bintang Liga I Indonesia Tampil di Lapangan Celuk Gianyar
Dalam diskusi yang lahir atas kolaborasi antara Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian dengan BEM Fakultas Hukum Unud itu, Windia menegaskan usulan pencabutan status WBD karena kondisi subak sudah hancur lebur.
Di Jatiluwih, Tabanan misalnya, sudah banyak lahannya dikonfersi menjadi hotel, restoran dan sebagainya. Padahal ada sebanyak 14 subak di sana yang dinobatkan sebagai WBD.
Sementara tiga subak yang diakui sebagai WBD di Kabupaten Gianyar kondisinya juga setali tiga uang dengan yang ada di Jatiluwih.
Semenjak ditetapkan jadi WBD dan banyak dikunjungi wisatawan, kawasan subak bukannya dipertahankan, tetapi malah banyak dibangun hotel, restoran dan area berjualan lainnya.
Menurut Windia, jika nantinya UNESCO setuju untuk mencabut status WBD maka pemerintah bisa bebas memperlakukan subak sebagaimana mestinya.
Hilangnya status WBD subak nantinya juga akan tidak memberikan beban kepada pemerintah dan UNESCO sendiri.
Windia menilai, di tengah status WBD subak ini, tidak ada sedikit pun mendapatkan perhatian dari pemerintah.
"Dulu ngemis-ngemis, gubernur neken, menteri neken, bupati, semua neken. Kok sekarang diabaikan. Mendingan cabut saja. Tapi sekarang baru diberikan lampu kuning, belum lampu merah. Masih diberikan kesempatan Indonesia memperbaiki itu," jelas Windia.
Meski diberikan kesempatan untuk memperbaiki, Windia sendiri mengaku konsisten untuk mengusulkan agar status WBD subak dicabut.
Hal itu dilakukan karena Windia melihat bahwa Pemerintah tidak setia dengan janjinya kepada UNESCO yang akan membentuk Badan Pengelola Warisan Budaya Dunia.
"Saya ikut membuat dokumennya itu. Judulnya management action. Janjinya membuat Badan Pengelola Warisan Budaya Dunia. Endak ada sampai sekarang. Sudah delapan tahun jadi Warisan Budaya Dunia," kata dia.
Baca juga: Tim Basket Bali United Bakal Launching Awal Desember 2020, Pelatih Teco: Hiburan Baru Warga Bali
Baca juga: Geser Tahta Marquez, Mir Kunci Gelar Juara Dunia di Tengah Kemenangan Morbidelli di MotoGP Valencia
Baca juga: Nagita Slavina Puji Kecantikan Istri Sule Nathalie Holscher: Elegan, Cantik Banget
Windia sendiri mengaku sudah pernah menghadap Gubernur Bali agar Badan Pengelola Warisan Budaya Dunia segera dibentuk.
Namun ketika menghadap, dijelaskan bahwa itu merupakan urusan pemerintah kabupaten.
Sementara ketika menghadap pemerintah kabupaten, mereka mengatakan bahwa di tingkat provinsi belum ada sehingga belum bisa dibuat di tingkat kabupaten.
Padahal, jika dibentuk Badan Pengelola Warisan Budaya Dunia, nantinya organisasi itu yang bakal memperjuangkan hak-hak subak.
"Kalau ada badan pengelola, maka dia akan berjuang untuk supaya petani diperhatikan," tuturnya.
Kemudian, janji kedua kepada UNESCO yakni harus ada prioritas pembangunan di subak yang dinobatkan sebagai WBD.
Upaya itu dilakukan agar masyarakat yang berprofesi sebagai petani bisa senang dan sejahtera.
Tak hanya itu, juga harus ada jasa ekosistem kepada para petani.
Namun sayangnya hal ini juga tidak berjalan sesuai dengan janji kepada UNESCO.
Padahal, di Subak Jatiluwih sendiri masuk dana sekitar Rp 12 miliar setiap tahun dari kunjungan wisatawan.
Meskipun mendapatkan penghasilan yang cukup besar, nyatanya subak hanya mendapatkan sebesar tujuh persen saja dari pendapatan tersebut.
Windia pun akhirnya bersikap atas kecilnya pembagian pendapatan yang didapatkan oleh subak dari hasil kunjungan wisatawan.
Ia mengusulkan agar subak mendapatkan dana itu sebanyak 50 persen dan petaninya berikan gaji.
Dengan upaya ini, keberadaan persawahan diharapkan bisa lestari karena tidak ada petani yang memilih untuk menjual atau mengkonfersi lahannya.
"Kok uang yang masuk tidak ke petani. Cobak bayangkan, betapa jeleknya petani, lemahnya petani, endak ada perhatian kepada petani," tuturnya.
Kemudian janji ketiga, pariwisata yang dikembangkan dalam subak bertatus WBD yakni yang berorientasi pada pendidikan.
Di sana, wisatawan bisa dididik mengenai apa itu subak, kenapa ada subak dan sebagainya.
Namun hal ini juga tidak diterapkan dan yang dilakukan justru pariwisata massal sehingga menyebabkan beberapa permasalahan seperti macet dan sebagainya.
Keempat, tidak diperbolehkan adanya perusakan terhadap budaya materi dalam subak yang berstatus WBD.
Berbagai benda-benda seperti batu-batuan zaman megalitikum, patung, pura sejatinya tidak boleh dirusak.
Akan tetapi keberadaan benda-benda tersebut dirusak dan diganti dengan batu-batuan yang tidak berisikan napas sejarah.
Selanjutnya yang kelima, infrastruktur yang dibuat tidak boleh sampai merusak keberadaan subak itu sendiri.
Tapi sayangnya, di Subak Jatiluwih justru dibuat tempat pendaratan helikopter atau heliped.
"Bayangkan, padi kena angin helikopter, kan hancur itu. Kok endak pikir. Mentang-mentang petani jelek, miskin, lacur terus ditekan-tekan," tuturnya.
Mengenai keberadaan heliped ini, Windia begitu getol menyatakan penolakan dan bahkan sampai dipanggil oleh Menteri Koordinator Bidang Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), ketika masih dijabat Puan Maharani.
Dalam kesempatan itu, Windia kembali mengusulkan kepada Puan Maharani agar status WBD subak dicabut.
Untuk diketahui, sistem subak di bali disulkan menjadi WBD kepasa UNESCO pada 2000 dan disetujui pada tahun 2012.
Windia menuturkan, dalam mengusulkan sesuatu untuk menjadi WBD ada 10 persyaratan.
Dari 10 persyaratan tersebut, satu saja dipenuhi maka bisa diusulkan untuk mendapatkan status WBD.
Menariknya, subak di Bali justru memenuhi sebanyak tiga dari 10 syarat yang ditentukan tersebut. Oleh karena itu, dalam terotisnya, subak di Bali memang melebihi dari cukup untuk mendapatkan status WBD.
"Makanya gampang mengusulkan subak (jadi) warisan budaya dunia. Cuma menunggu 12 tahun. Diusulkan tahun 2000, disetujui tahun 2012," kata dia.
Berbeda misalnya dengan usulan WBD yang lain memiliki jangka waktu yang lama untuk disetujui, bahkan bisa menjadi 20 tahun atau 18 tahun.
Akademisi Fakultas Hukum Unud, Anak Agung Gede Oka Parwata setuju dengan Windia yang mengusulkan agar status WBD subak dicabut.
Dirinya melihat keberadaan subak saat ini sudah semakin miris dan tidak ada perhatiannya dari pemerintah.
"Kalau begini mau bilang apa. Cabut (status WBD) subak seperti yang dikatakan Prof (Windia," tegasnya.
Bagi Parwata, pemerintah seharusnya memberikan bantuan seperti subsidi pupuk dan menggratiskan pajak khusunya bagi yang berstatus sebagai WBD.
Di sisi lain, Pemerintah seharusnya memberikan fasilitas agar membeli hasil panen para petani dengan harga yang wajar. (*)
