Berawal dari Gunung, Berikut Kisah Bhatara-bhatari Awal di Bali
Ida Pedanda Wayahan Bun, dari Griya Sanur Pejeng Gianyar, menjelaskan bahwa Tuhan adalah satu namun memiliki banyak nama sesuai fungsinya
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Aloisius H Manggol
Sehingga nama-nama lokal ini tidak ada yang salah, jika tidak disebutkan di Weda atau dalam ajaran Hindu dari India.
Karena local genius, membuat masyarakat pada zaman itu menyebutnya sesuai dengan apa yang dilihat atau dirasakannya.
“Itu dimungkinkan karena pengaruh Hindu belum terlalu kuat, atau memang belum masuk ke Bali pada zaman itu,” jelas Ida pedanda.
Contohnya, ketika beliau saat welaka dan masih menjadi arkeolog melakukan penelitian di Blanjong, Sanur.
Saat itu, masyarakat setempat memberi petunjuk bahwa ada sebuah arca di tengah pohon.
Arca itu oleh masyarakat kemudian disebut dengan nama Ratu Lantang Irung. “Saya penasaran, dan setelah saya teliti ternyata itu adalah arca Ganesha,” sebut beliau.
Sehingga saat masyarakat menyebut dengan nama Ratu Lantang Irung tidak salah, karena memang perawakan Dewa Ganesha memiliki hidung gajah seperti dijelaskan dalam kisah mitologi dan kitab suci.
Sejatinya hal itu pun telah disebutkan di dalam prasasti Blanjong, karena ada kata gana.
Sehingga tidak ada yang salah dengan penyebutan nama lokal ini, untuk memudahkan masyarakat dalam mengingat sesuai budaya dan bahasa setempat.
Ida pedanda mengatakan, bahwa dasar dari pemujaan kepada dewa, bhatara, maupun Tuhan adalah rasa bakti.
“Kalau memuja tanpa rasa bakti, itu sama saja dengan sia-sia,” tegas beliau.
Tidak boleh jumawa atau sombong, dan tetap merendah.
Seperti halnya dalam ajaran Arjuna Wiwaha, yang menjelaskan ketika Arjuna menyebut dirinya manusia nista di depan Dewa Siwa.
“Itu adalah perwujudan bakti dari Arjuna kepada Dewa Siwa, walau dia punya kemampuan dan keturunan dewa,” kata Ida pendanda. (ask)