Jerit Perempuan Bali di Masa Pandemi

Inilah jerit perempuan Bali menghadapi masa pandemi Covid-19. Mereka berjuang untuk bisa bertahan hidup di masa yang serba sulit.

Penulis: Eviera Paramita Sandi | Editor: Widyartha Suryawan
dokumen tribun bali
Ilustrasi perempuan Bali. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - "Dalam narasi-narasi hidup yang nyata, perempuan menjadi kekuatan tak terbatas,". 

Kutipan dari Najwa Shihab tersebut bisa menjadi pelecut semangat bagi perempuan Bali di masa pandemi Covid-19 ini yang banyak terdampak dan mengalami berbagai tekanan psikis dan finansial. 

Seperti diketahui, pandemi ini membuat banyak perubahan di masyarakat, mulai dari pembatasan kegiatan, social distancing, Work From Home (WFH) yang berakibat terbatasnya berbagai peluang terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan finansial. 

Di Bali yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai pelaku pariwisata sangat tidak diuntungkan dengan adanya pandemi dan aturan seperti ini. Banyak pekerja di sektor pariwisata terpuruk selama berbulan-bulan lamanya. 

Sekadar diketahui, sebelum adanya pandemi Covid-19, berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali pada November 2019 terdapat sebanyak 498.088 kunjungan. Sedangkan di penghujung tahun yaitu Desember 2019 ada sebanyak 552.403 kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali.

Namun seiring dengan adanya berbagai pembatasan hingga lockdown di luar negeri, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara yang merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi pulau dewata ini terus merosot. 

Pada rilis BPS paling akhir yaitu September 2020, wisman yang datang langsung ke Provinsi Bali pada September 2020 tercatat hanya 83 kunjungan.

Tak pelak perekonomian di Pulau Bali terguncang. Banyak pekerja di Bali terdampak unpaid leave hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Energi Sumber Daya Mineral (Disnaker ESDM) Provinsi Bali, per 25 Mei 2020, sebanyak 71.313 tenaga kerja sektor formal mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan 2.570 orang kehilangan pekerjaan.

Dalam beberapa bulan terakhir, banyak orang beralih profesi dari pegawai menjadi pebisnis yaitu pedagang. Baik pedagang di rumah, di dunia maya hingga di pinggir jalan. 

Kondisi ini pun mempengaruhi perekonomian rumah tangga. Tak jarang satu keluarga, suami dan istri bahkan anak akhirnya bahu membahu untuk menyelamatkan keuangan keluarga karena tiba-tiba sumber penghasilan utama terhenti.

Yang tadinya istri hanya bertugas mengurus anak dan menunggu jatah uang bulanan dari suami tiba-tiba harus menghadapi kehidupan yang berubah drastis, memaksanya harus kreatif dan tahan banting menghadapi tekanan hidup.

Hal ini tentunya tak mudah. Hampir setiap hari berada di rumah selama berbulan-bulan tentu bukannya tanpa konflik apapun. Konflik malah semakin sering muncul karena meningkatnya beban dalam keluarga yang berpengaruh terhadap mental anggota keluarga terutama bagi seorang istri atau perempuan.

Bertahan Menopang Ekonomi Keluarga

Cerita pertama dialami oleh Made Sartini. Sartini adalah seorang ibu dari dua anak yang tinggal di daerah Denpasar Timur.

Ibu asal Gianyar yang masih berusia 29 tahun ini tak jarang mengalami pergolakan batin karena semenjak suaminya yang bekerja sebagai pegawai cafe dirumahkan, terjadi banyak masalah di keluarganya. Mulai dari masalah finansial, keluarga hingga masalah psikologis.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved