Jerit Perempuan Bali di Masa Pandemi
Inilah jerit perempuan Bali menghadapi masa pandemi Covid-19. Mereka berjuang untuk bisa bertahan hidup di masa yang serba sulit.
Penulis: Eviera Paramita Sandi | Editor: Widyartha Suryawan
Awalnya tuntutan dan intimidasi dari mertuanya ini tak jadi pikiran bagi Sariati, karena ia masih dapat menyibukkan diri dengan pekerjaannya sebagai humas sebuah restoran di Badung Selatan dan bisninsnya sebagai desainer interior.
Dengan kesibukannya itu, ia bisa meminimalkan intensitas untuk berada di rumah dan bertemu kedua mertua yang terus-menerus menerornya soal keturunan.
Namun keadaan ini berubah saat pandemi Covid-19 merebak. Sekitar bulan April 2020 tempat kerjanya yang memang bergantung pada kedatangan wisatawan asing tak sanggup lagi bertahan karena sepinya pengunjung. Ia pun dirumahkan tanpa gaji. Usaha desain interiornya juga mulai seret.
“Sebenarnya mereka baik, baik sekali sama saya. Tapi kadang perkataannya itu membuat saya tidak bisa membantah. Saya sebenarnya sudah berusaha ke berobat ke dokter dan merubah gaya hidup sehat. Tapi mau bagaimana lagi, sampai sekarang saya belum juga dikaruniai,” ujarnya.
Namun bukan itu saja yang jadi masalah, sebagai perempuan yang sejak awal terbiasa hidup mandiri, tak bergantung pada siapapun dan percaya diri soal masa depan, Jero Sariati akhirnya mulai ketakutan bila kedepannya pandemi masih belum jelas ujungnya.
Meski saat ini ia masih beruntung karena sejak awal menikah sudah melek finansial. Jero Sariati mengaku sangat piawai mengatur keuangan dan mempunyai tabungan pribadi yang tak diketahui suami. Sehingga saat terjadi keadaan yang tak terduga seperti sekarang ia masih percaya diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Kendati sang suami tetap bertanggung jawab dengan memberi nafkah lahir batin.
Tapi lagi-lagi yang jadi soal ialah sikap mertua yang sungguh membuatnya tak nyaman. Menurutnya sang mertua kerap melarangnya melakukan hal-hal yang berpotensi membuang-buang uang karena takut anak dan menantunya akan kekurangan uang.
“Ibu mertua selalu menyarankan untuk ditabung saja di masa pandemi seperti sekarang daripada uangnya habis. Padahal itu tabungan kami sendiri yang pemakaiannya sudah direncanakan jauh-jauh hari,” tuturnya.
Kini Jero Sariati dan suami pun memilih menerima saja pemberian dari orangtua demi menghormati dan tidak mengecewakan orangtua.
Namun hal ini menjadi beban tersendiri bagi batin Jero Sariati. Karena dengan menerima pemberian tersebut, mau tidak mau ia dan suaminya lebih terikat lagi dengan mertua. Hal itu dirasanya tidak membuat merdeka.
Selain itu, ia takut keluarga kecil yang baru ia bina itu dianggap tidak mampu mandiri. Belum lagi sebagai pengantin yang terbilang masih baru, Jero Sariati masih dalam fase adaptasi dengan suami dan keluarga besar suami yang bisa dibilang orang terpadang di daerahnya.
Adanya berbagai imbauan pembatasan aktivitas yang membuatnya sering di rumah pun menjadikannya mau tidak mau lebih sering berhadapan dengan keluarga suami yang tentu dalam masa “pengenalan lingkungan” kerap terjadi salah pengertian.
“Sempat saya terlibat salah paham dengan saudaranya (kakak suami), sampai suami marah-marah dengan keluarganya dan membuat saya merasa tersudut. Padahal maksud saya curhat sama suami sendiri tapi malah bikin runyam. Karena saya merasa tak ada yang bisa saya percaya untuk masalah seperti ini, saya masuk kamar mandi lalu menangis sendirian,” kenang Sariati.
Jero Sariati bukannya tanpa usaha sama sekali, di masa pandemi ini, ia pun berusaha tetap menyibukkan diri dengan berbisnis pakaian hingga aksesoris secara online.
Ia juga mencoba mencari peruntungan dengan membuat konten-konten video ringan yang bisa dilakukannya di rumah khususnya di dalam kamarnya. Karena hanya di tempat itulah di rumahnya ia merasa memiliki kebebasan.
Seringkali Jero Sariati menghubungi sahabat-sahabatnya untuk mencurahkan isi hatinya baik via telepon ataupun bertemu di waktu senggang. Walau diakuinya hal itu tak sebebas dulu sebelum adanya pandemi Covid-19.
“Kebebasan saya terenggut karena nggak bisa kemana-mana padahal hobi jalan-jalan. Apalagi ditambah harus memberi alasan yang jelas kepada mertua…tapi untungnya suami selalu meng-cover. Sehingga mertua saya tidak sampai bertanya lebih jauh,” terangnya.
Namun seiring berjalannya waktu ia mulai terus beradaptasi dan berdamai dengan keadaan yang ada.
“Saya menyadari saya masih baru dalam membina keluarga. Masih sering labil dan memetingkan ego. Harus bergaul dengan yang lebih berpengalaman biar tidak stress terus,” katanya.
“Tapi kelamaan di rumah seperti ini membuat semua hal jadi dimasukkan ke hati, terutama bila ditanya kapan punya anak,” lanjut Sariati.
Cara yang kini bisa dilakukan menurut Sariati hanyalah terus mencari kesibukkan untuk mengalihkan perhatian dan tentu saja berusaha selalu bersyukur.
Ia kini mulai belajar untuk mengikis ego, mendengarkan orang lain terutama keluarga di rumah dan mencoba untuk saling memahami dengan suami . Apalagi setelah ia banyak berkompromi, suaminya pun mengerti apa yang sesungguhnya dibutuhkan Jero Sariati. Teman dan rasa aman.
Ya, menurut Jero Sariati kini sang suami sebisa mungkin selalu mengajak bila hendak bepergian demi membuat Jero Sariati tak merasa sendiran dalam menghadapi tuntutan mertua khususnya soal keturunan.
Karena selama pandemi ini, Jero Sariati semakin merasa tertekan oleh intimidasi saat hanya berdua saja dengan mertua di rumah.
Diakuinya sebenarnya ini bukan perkara takut menghadapi mertua. Namun lebih karena ia sesungguhnya menyayangi mertua. Ia tak ingin membuat keadaan menjadi semakin pelik bila ia melawan apalagi ibu mertua memiliki penyakit jantung bawaan yang bisa kambuh sewaktu-waktu.
Sariati kini memilih untuk berpura-pura bahkan menghindar demi semuanya baik-baik saja. Meskipun sebenarnya, perasaannya terasa bergejolak.
“Dukungan suami membuat saya bertahan. Saya hanya mengikuti rencana Tuhan dan percaya bahwa ada saatnya ketika kami diberikan rezeki berupa anak nanti, kami dalam kondisi siap,” tukasnya.
Pentingnya Perempuan Berdaya
Efek pandemi Covid-19 bagi perempuan ini sesungguhnya sudah diprediksi oleh para pemerhati HAM dan perempuan. Salah satunya adalah LBH Bali Women Crisis Centre (LBH BWCC). Menurut Ni Nengah Budawati selaku founder BWCC sebelum ada pandemi pun kekerasan yang dialami perempuan karena masalah ekonomi sudah dikhawatirkan.
“Kami sudah worry sebenarnya. Kami memang berharap seorang ibu dalam kondisi apapun baik saat pandemi maupun tidak pandemi mempunyai kekuatan ekonomi. Karena kekuatan ekonomi perempuan itu sangat dibutuhkan. Karena begitu perempuan ketergantungan dalam ekonomi, konflik sedikit saja pasti sudah membuat depresi,” ujarnya ketika dihubungi pada (24/11/2020).
Menurutnya Budawati, meskipun laki-laki juga bisa mengalami depresi namun dalam hal semacam ini yang akan menjadi korban adalah yang lemah di keluarga tersebut. Bisa perempuan dalam keluarga tersebut atau anak-anak. Sehingga perempuan perlu mengambil peran dan strategi-strategi jitu untuk bertahan hidup. Karena perempuan saat ini dituntut untuk bisa menjadi pembantu penopang perekonomian dalam keluarga.
“Pemberdayaan ekonomi kreatif menjadi hal yang dirasa bisa menjawab persoalan tersebut,” tegas Budawati.
Menurutnya ada pelatihan-pelatihan yang kini banyak disediakan secara gratis bisa diikuti. Hal itu menjadi sesuatu yang sangat mungkin dilakukan untuk membuka wawasan, keterampilan dan jaringan sementara ini.
“Memang sulit menjawab di masa sekarang. Namun bukan berarti sulit lalu tidak bisa dilakukan, harus tetap dilakukan” tegasnya.
Apalagi menurut Budawati kekerasan dan perceraian di masa pandemi ini memang sangat tinggi. Ada berbagai masalah yang melatar belakangi seperti suami yang sudah tidak bekerja, mertua tidak empati, anak-anak juga tanpa bicara tidak diketahui tingkat stressnya seperti apa. Inilah yang menjadi kompleksitas yang dialami perempuan.
Selama pandemi ini BWCC juga menerima aduan terkait meningkatnya tingkat kekerasan fisik, psikis hingga seksual di Bali. “Sebenarnya yang terjadi sebelum pandemi sudah ada masalah pada diri si perempiuan, pasangan maupun keluarganya. Tapi dulu tidak menjadi pemicu untuk mengambil keputusan untuk berpisah pada saat itu tinggi. Nah di masa pandemi ini terakumulasi semuanya. Maka meledaklah itu,” papar advokat di LBH APIK Bali ini.
Ia mencontohkan sebelum adanya pandemi jika sedang bertengkar dengan suami ada tempat-tempat yang bisa digunakan untuk mengurai emosi. Misalnya bekerja yang membuat perempuan tersebut berdaya secara finansial. Tapi begitu pandemi apa yang menjadi api dalam sekam menjadi keluar semua.
Budawati menyarankan para perempuan yang terdampak pandemi agar melakukan hal-hal yang bisa membuatnya tidak semakin stress. Contohnya dengan melakukan pelatihan hingga improvisasi untuk ekonomi kreatif hingga mengikuti perkumpulan-perkumpulan olahraga yang murah menyenangkan. Yoga adalah satu pilihan yang bisa dimanfaatkan. Bisa dicari yang tidak berbayar atau melalui virtual.
Sekali lagi Budawati menegaskan, bahwa ketergantungan ekonomi perempuan kedepannya baik di masa pandemi atau tidak harus ditiadakan. Apabila tidak bisa keluar rumah karena mekanisme urusan domestik, upaya tersebut bisa dilakukan via online. Menurutnya saat ini teknologi yang ada bisa dipakai untuk menjawab tantangan tersebut.
Sedangkan peran dari masing-masing pasangan yang penting adalah komunikasi. Pasangan perlu duduk bersama untuk mengatasi persoalan bersama-sama.
“Perlu dibicarakan kalau tidak bekerja mau apa, lalu melakukan kegiatan apa. Jangan malah pandemi dijadikan alasan untuk berpisah hingga anak-anak jadi korban,” sarannya.
BWCC pun menawarkan bantuan untuk para perempuan yang mengalami segala persoalan. Baik persoalan kekerasan ekonomi, fisik, psikis hingga seksual dengan menghubungi nomor WhatsApp BWCC di 0881-038-776371. Bantuan ini terbuka untuk para perempuan secara gratis. (*)