Jerit Perempuan Bali di Masa Pandemi

Inilah jerit perempuan Bali menghadapi masa pandemi Covid-19. Mereka berjuang untuk bisa bertahan hidup di masa yang serba sulit.

Penulis: Eviera Paramita Sandi | Editor: Widyartha Suryawan
dokumen tribun bali
Ilustrasi perempuan Bali. 

Diakui Sartini, ia mengalami guncangan mental yang begitu dahsyat karena semenjak menikah ia nyaris tak pernah lagi bekerja. Fokusnya hanyalah mengurus kedua anak, merawat mertua yang mulai sakit-sakitan, beribadah dan mengikuti kegiatan menyama braya. Kini tiba-tiba bencana datang, suaminya yang sudah kehilangan penghasilan kerap stress hingga meluapkan emosi di rumah.

“Saya enggak tahu lagi, pasrah. Suami mau apa saya ikuti saja,” ujarnya saat cafe tempat suaminya bekerja di wilayah Badung mulai benar-benar tutup.

Di tengah kegalauan suaminya, Sartini kerap murung, tak jarang anak-anak dan mertua yang tinggal di rumahnya jadi pelampiasan amarah.

Tak banyak pengalihan pikiran yang dapat dilakukannya karena hiburan pun minim didapatkan. Sartini dan keluarga yang biasanya selalu menikmati akhir pekan dengan jalan-jalan keluar tak lagi dapat melakukan hal serupa karena banyak tempat ditutup hingga kekhawatiran penularan virus. Mengingat ada dua orang dari kelompok rentan di rumahnya, yaitu bayi dan manula.

Sartini akhirnya menurut kehendak suaminya yang ingin membuka usaha kecil-kecilan di rumah yaitu dengan berjualan makanan dan minuman. Meski awalnya Sartini tak yakin dengan usaha suami.

“Saya sebenarnya tidak ingin berjualan. Capek. Tapi harus bagaimana lagi,” keluh Sartini Senin (23/11/2020).

Sartini mengaku kelelahan karena setiap hari harus mengerjakan semua pekerjaan domestik mulai dari menyiapkan makanan, bersih-bersih rumah, merawat si bungsu, mendampingi si sulung yang harus belajar online hingga meladeni mertua laki-laki yang disebutnya sangat cerewet. Belum lagi bila ada kegiatan adat. Maklum, di Bali ada banyak hari-hari suci atau rerahinan yang mana saat-saat itu perempuan lah yang bertugas menyiapkan segala keperluan dan sarana upakara.

Namun Sartini mengaku tak punya pilihan. Ia kerap kali bertengkar dengan suami yang membuatnya sering bersedih. Belum lagi ketika suami sudah mengeluhkan soal tabungan yang dirasa tak aman di masa-masa krisis ini.

“Sebenarnya saya bisa saja bekerja. Dari bajang saya sudah bekerja dan sebelum pandemi saya sempat bekerja jadi SPG. Tapi kalau diingat-ingat lagi saat itu anak saya tidak terurus, rumah nyaris terbakar karena mertua yang sudah pikun lalai menyalakan obat nyamuk. Lalu kalau saya bekerja lagi, apa jadinya keluarga saya,” katanya.

Ia mengakui belakangan kerap emosi hingga berteriak-teriak saat marah, sampai beberapa kali setelah emosinya meledak, ia pergi keluar rumah dalam kondisi menangis membawa kedua anaknya untuk menenangkan diri.

Walaupun pada akhrinya ia selalu kembali pulang ke rumah dan mencoba berdamai dengan keadaan. Tak jarang pula ketika ia memulai berdiskusi dengan suami, ujung-ujungnya malah konflik lagi karena beda pendapat.

Akhirnya Sartini pun memilih menyerah, ia menyanggupi membantu usaha suaminya dan membagi waktu dengan tugas rutin di rumah. Sartini juga merelakan akun media sosialnya untuk dijadikan media promosi.

Padahal sebelumnya akun media sosialnya adalah miliknya pribadi yang kerap digunakan untuk mengunggah momen-momen bersama keluarga, swafoto hingga bertegur sapa dengan teman-temannya.

Kini seluruh akun medsosnya dipenuhi dengan promosi produk dagangannya, mulai dari menjual makanan, minuman, fashion, peralatan rumah tangga, banten (sarana upacara di Bali), bumbu dapur hingga tanaman.

“Semua peluang usaha kami lakukan daripada tidak ada pemasukan sama sekali,” terangnya.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved