Jerit Perempuan Bali di Masa Pandemi

Inilah jerit perempuan Bali menghadapi masa pandemi Covid-19. Mereka berjuang untuk bisa bertahan hidup di masa yang serba sulit.

Penulis: Eviera Paramita Sandi | Editor: Widyartha Suryawan
dokumen tribun bali
Ilustrasi perempuan Bali. 

Sekali dua kali ia pun kerap menuliskan cuhat singkat tentang beban hidupnya di masa pandemi seperti saat ini. Hal itu diakuinya dilakukan spontan saja karena tak tahu lagi harus berkeluh kesah kepada siapa. Dari postingannya tersebut banyak teman-teman yang berkomentar agar ia tetap semangat menjalani hidup.

Diakuinya, di awal pandemi saat itu ia merasa hampir seperti orang gila. Sartini berusaha membantu suaminya agar sampai depresi dengan mencari tambahan penghasilan dari online shop. Ia pun menghubungi rekan-rekan lamanya untuk menjadi reseller. Apapun yang bisa mendatangkan pundi-pundi penghasilan ia lakukan sembari memastikan keadaan di rumah terkontrol.

Lama-kelamaan seiring waktu berjalan, Sartini mengaku sudah terbiasa. Malah kini ia mengaku sudah menemukan kegemarannya dalam berbisnis tanaman hias mulai bunga mawar hingga kembang sepatu.

“Kalau bunga saya ada yang beli, lalu pesan dalam jumlah lebih dari satu saya senang. Rasanya semangat untuk jualan lagi,” ungkapnya.

Ia yang awalnya tak punya pengalaman berbisnis malah kini berpikir untuk terus menambah modal dengan membeli lebih banyak bibit dan peralatan untuk menanam. Menurutnya bisnis yang ia geluti saat ini adalah “jalannya” supaya bisa berpenghasilan walaupun hanya di rumah sambil mengurus keluarga.

Tapi di lubuk hati, ia menyimpan harapan. Terutama bagi anak perempuannya kelak. Pandemi ini telah mengajarkannya agar menjadi seorang perempuan haruslah tangguh dan serba bisa. Setidaknya untuk mendukung suami dan membuat keluarganya tetap aman terjaga.

“Saya akan ajarkan anak saya agar bisa melakukan banyak hal, kalau bisa sekolah yang tinggi, belajar bisnis, dan melakukan tugas-tugas rumah tangga. Agar ketika dewasa nanti dia tidak kaget apabila kehidupannya berubah keras dan tidak seperti yang dicita-citakan,” harapnya.

Menurutnya, anak-anak terutama perempuan kini harus bisa diandalkan. Baik dalam hal mengurus keluarga dan sebagai penopang finansial.

Beban Mental dan Merasa Terintimidasi 

Cerita lain dialami oleh Jero Sariati. Jero Sariati bukanlah nama sebenarnya. Ia tak ingin identitasnya dipublikasikan. Perempuan 28 tahun ini tinggal di daerah Denpasar Barat bersama suami dan kedua mertuanya.

Lain dengan Sartini, Jero Sariati adalah orang baru yang masuk dalam tatanan keluarga Bali yang sarat dengan tradisi leluhur. Jero Sariati lahir dan dibesarkan di luar Bali dengan budaya dan cara hidup yang berbeda dengan di Bali.

Ia baru mempelajari menjadi perempuan Bali seutuhnya sejak pernikahannya tahun lalu.

Saat ini walaupun diakuinya masalah ritual adat tidak mengganggunya, namun ia masih tergagap untuk mengikuti aturan baru di keluarga suami yang berasal dari kasta ksatria.

Sesungguhnya, tak ada masalah bagi Jero Sariati untuk mempelajari budaya baru tersebut. Namun yang jadi soal, ia tinggal bersama kedua mertua yang menginginkan adanya keturunan dengan segera. Seperti diketahui masyarakat di Bali menganut sistem patrilineal dimana anak laki-laki sangat diharapkan kehadirannya untuk meneruskan keturunan.

Posisi Jero Sariati sendiri saat ini tidak terlalu menguntungkan. Karena suami Sariati adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarga tersebut yang mengambil istri dari “orang luar” (luar kasta) maka, kini Sariati diharapkan dapat melahirkan anak laki-laki.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved