Serba Serbi
Tidak Mudah, Ini Syarat dan Tahapan Menjadi Sulinggih di Bali
Sebab seorang sulinggih telah mendapatkan kesucian lahir batin,dalam tingkatan dwijati (lahir kembali dua kali).
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
“Hanya saja, setelah madwijati di Bali memang beda-beda sebutannya. Ada yang disebut ida pedanda, Ida sri empu, ida bhagawan, rsi agung, dan lain sebagainya,” sebut beliau.
Selama proses ditempuh, sesuai awig-awig maka seseorang yang telah madwijati bisa disebut sulinggih.
Lanjut beliau, seorang calon bhiksuka atau calon sulinggih diharuskan mencari calon guru nabe.
Sementara seorang calon guru nabe, tidak akan mudah menerima seorang calon sulinggih.
Guru nabe akan melihat bibit, bebet, bobot, dari calon sulinggih ini. Apakah ia layak menjadi sulinggih atau tidak.
Namun jika dirasa berhak, dan memiliki potensi menjadi calon sulinggih maka akan dicarikan hari baik (duasa) secara niskala di pamerajan nabe.
Prosesnya pun masih panjang, karena menjadi sulinggih tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Setelah adanya kesepakatan, calon sulinggih tangkil ke calon nabe untuk menentukan hari baik madiksa.
Sebelum madiksa, akan dilakukan pemeriksaan keabsahan surat dari calon sulinggih.
Diantaranya, surat kelakukan baik, surat keterangan sehat lahir batin, surat kesiapan dari tiga guru yakni guru nabe, guru watra, dan guru saksi.
Semua guru ini harus tanda tangan surat kesiapan itu.
“Itu namanya diksa pariksa, dan setelah proses itu selesai ada istilah mejaruman. Sebelum itu ada pegat sembah. Selesai pegat sembah, pada hari itu juga malam harinya ada prosesi amati raga,”jelas beliau.
Upacara amati raga ini, seolah-olah seorang calon sulinggih telah pralina (meninggal dunia) dan itu dilakukan oleh calon nabe.
Setelah meninggal di alam nyata, besok paginya di-urip (diberi kehidupan) kembali oleh nabe.
“Nah pagi itu setelah amati raga, calon sulinggih kesiram oleh silunggih yang senior,” kata Ida pedanda.