Kisah Mbah Wiryo, Usia Hampir Seabad Masih Setia Membunyikan Lonceng Gereja Setiap Hari
Seorang lansia perempuan dengan rambut putih perak menarik tali itu sehingga bandul menghantam genta.
Nama itu berasal dari nama suaminya, Rafael Sudarno Wiryorejo (Rafael). Mbah Wiryo nenek dengan perawakan kurus, giginya habis, namun masih tegap berjalan sekalipun agak lamban dan tanpa tongkat yang menopang.
Mbah Wiryo menceritakan, ia memukul genta setiap pukul 06.00, 12.00 dan 18.00. Suara lonceng merupakan ajakan untuk berdoa bagi umat Katolik di Kajoran.
Terdapat 47 kepala keluarga atau 157 umat Katolik pada lereng Kajoran tersebut. Di antara mereka bekerja di kebun, ladang maupun hutan.
Genta menjadi pengingat waktu untuk berdoa setiap waktu sekalipun berada di tengah kesibukan sepanjang hari.
“Sehari tiga kali dengan patokan jam, jam enam, jam 12 sing dan enam sore. Saat sore ketika sudah gelap. Tergantung terang atau sudah gelap,” kata Mbah Wiryo.
Baca juga: Gereja Katedral Denpasar Putuskan Tak Tambah Kuota Dalam Ibadah Natal 2020, Maksimal 500 Orang
Generasi ketiga kapel ST Lukas Kajoran
Mbah Wiryo merupakan generasi ketiga pemukul lonceng pada kapel ST Lukas Kajoran.
Awalnya adalah Barnabas Sarikromo atau Sariman, mertuanya.
Warga mengenal Barnabas sebagai pengajar katekisan Katolik.
Sepeninggal Barnabas, Rafaael lah yang menggantikan.
Baca juga: Presiden Putin Minta Azerbaijan Menjaga Gereja dan Biara di Nagorno-Karabakh
Mbah Wiryo mengatakan, suaminya meninggal sekitar tahun 1980-an. Sejak itu, ia yang mengganti memukul lonceng.
Ia sebenarnya juga sudah mulai ikut memukul lonceng sejak menikah dengan Rafael pada tahun 1940-an.
Ini dilakukan saat Sudarno berhalangan memukul lonceng.
Mbah Wiryo adalah petani.
Dulunya, ia menanam jagung dan ketela.
Ladang dan kebunnya ada di balik bukit dan hutan.